Cari Blog Ini

Rabu, 23 Juli 2014

Engkau Tetap Rahwana!

Pemuda terlepas terhempas oleh pilu
Karma menampar bengis pemilik hati terkutuk
Menyudutkan dunianya ke sebuah genangan air disudut sempit pijak batu cadas
Terkapar lemaslah sang pemuda, dengan wajah tenggelam dalam genangan air
"ah rasanya aku kenal air ini! Bukankah ini air mata hati yang dibunuh sosok durjana itu?"
Pemuda mengangkat muka, matanya membidik genangan penuh tanya
sesosok wajah yang tak asing muncul dari riak, seisi bumi pertiwi mengutuk dalam bisu
Wajah itu milik dia yang terkutuk cintanya
Wajah itu milik seorang penuh naif tentang rasa
Wajah itu milik sebuah bagian tragis dari cerita para dewi
Wajah itu milik Rahwana!
Pemuda kembali roboh, asa perkasa telah musnah bersama riak air nelangsa
Pemuda mencoba bangkit, menengadah pada langit senja yang tetap bisu
"tak mungkin aku tetap Rahwana bukan?"
Seketika itu petir menembus hati kosong sang pemuda, langit tak lagi diam.
Sejuta sumpah serapah langit membinasakan pemilik hati terkutuk
"ENGKAU TETAP RAHWANA!"
AAP - 22-7-14

Minggu, 20 Juli 2014

MAKALAH PENGANTAR VIROLOGI TUMBUHAN: Cymbidium mosaic virus




 
 DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013


NOMENKLATUR
Cymbidium mosaic virus
Ordo: Tymovirales
Famili: Alphaflexiviridae
Genus: Potexvirus
Spesies: Cymbidium mosaic virus
Arti Penting
        Penyakit yang disebabkan oleh CyMV adalah penyakit yang paling umum pada anggrek di seluruh dunia yang memiliki dampak ekonomi. Adanya penyakit ini di Indonesia untuk pertama kalinya dilaporkan Suseno (1976) pada Cattleya. CyMV merupakan spesies dari genus Potexvirus dan famili Flexiviridae. Bentuk partikel virus adalah memanjang, lentur dan panjangnya rata-rata 448 nm hingga 488 nm, tidak memiliki enveloped dan memiliki RNA berukuran ±600bp (Lee & Chang 2006). Genom CyMV merupakan ss-RNA linier dan berukuran 8.1 kb (Frowd & Tremaine 1977). CyMV dapat ditularkan secara mekanik dengan cairan perasan, melalui perkembangbiakan vegetatif, tetapi tidak dapat ditularkan dengan biji dan secara alami oleh serangga vektor. CyMV di lapangan dapat ditularkan melalui kontak langsung antara tanaman sakit dengan tanaman sehat, kontaminasi peralatan potong dan pot selama perawatan dan pada saat panen bunga (Lawson 1995).  CyMV dapat bertahan dalam cairan perasan tanaman sakit pada temperatur 65oC selama 10 menit, tetapi tidak dapat diinaktifkan pada temperatur 70 oC. Selain itu virus tersebut juga tidak aktif pada tanaman yang direndam dalam air yang bertemperatur 45 oC selama 2 jam (Smith 1972).  Menurut Jensen (1951) CyMV banyak menyerang spesies dalam famili Orchidaceae dan hanya beberapa spesies pada famili lainya. Pada famili Orchidaceae virus ini dijumpai pada 8 genera, yaitu Aranthera sp., Calanthe sp., Cattleya sp., Cymbidium sp., Grammatophyllum sp., Phalaenopsis sp., Oncidium sp., dan Vanda sp.  Gejala mosaik akan tampak lebih jelas pada daun-daun muda berupa garis- garis klorotik memanjang searah serat daun. Bunga pada tanaman Cattleya sp. yang terinfeksi biasanya memperlihatkan gejala bercak-bercak coklat nekrosis pada petal dan sepal. Bunga biasanya berukuran lebih kecil dan mudah rontok dibandingkan dengan bunga tanaman sehat  (Jensen 1951). Pada tanaman Grammatophyllum menunjukan gejala mosaik pada daun, pada tanaman Phalaenopsis menunjukkan gejala mosaik, dan nekrosis pada bagian daun (Inouye 1996).
Sebaran
        Cymbidium Virus (CyMV)  biasanya menular lewat luka pada tanaman yang disebabkan oleh luka. Umumnya luka ini terjadi melalui perbanyakan tanaman dengan menggunakan alat pemotong yang terkontaminasi . Ketika dibudidayakan di rumah kaca ataupun pada tempat lain , CyMV menyebar secara mekanis jika alat yang digunakan dalam budidaya tidak dibersihkan dengan benar . Secara alami CyMV ditularkan serangga . Sebuah virus anggrek yang berbeda , virus anggrek flek , dapat ditularkan oleh tungau Brevipalpus .Ada juga bukti bahwa kecoa mampu mengirimkan CymMV .
Inaktivasi dan Inkubasi

CyMV dapat bertahan dalam cairan perasan tanaman sakit pada temperatur 65oC selama 10 menit, tetapi tidak dapat diinaktifkan pada temperatur 70 oC. Selain itu virus tersebut juga tidak aktif pada tanaman yang direndam dalam air yang bertemperatur 45 oC selama 2 jam (Smith 1972). penelitian Gara (1995) yang menyatakan bahwa pada C. Amaranticolor menunjukkan gejala lesio lokal yang diawali bercak berwarna hijau kemudian bercak berubah warna menjadi hijau kekuningan pada 11-29 hari setelah inokulasi, sedangkan pada D. stramonium gejala yang tampak berupa bercak berwarna hijau yang kemudian berubah menjadi hijau kekuningan, dan lama kelamaan berubah menjadi coklat, bercak klorotik dan nekrotik ditemukan pada tanaman ini pada 10-14 hari setelah inokulasi.

Deteksi dan Identifikasi
Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Salah satu uji serologi adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang pertama kali dikembangkan oleh Clark dan Adam (1977). Metode ini berdasarkan pada reaksi antara antigen antibodi.
Diagnosis CyMV yang dilakukan oleh Miin (2005); Hu et  al. (1993); Navalinskiene et al (2005) dan Sherpa et al. (2007) dengan menggunakan metode serologi yaitu Double Antibody Sandwich (DAS) ELISA pada tanaman anggrek jenis Arachnis, Aranda, Asocentrum, Cattleya, Cymbidium, Dendrobium, Laelia, Oncidium, Paphiopedium, Phalaenopsis, Renanthera dan Vanda berhasil dengan baik. Metode serologi ini menggunakan antiserum monoklonal yang bereaksi secara spesifik dengan protein selubung CyMV (Navalinskiene et al 2005).
Selain dengan menggunakan metode serologi, deteksi dan identifikasi virus tanaman dapat juga dilakukan melalui teknik molekuler misalnya dengan reverse transcriptase-polimerase chain reaction (RT-PCR) (Sherpa et al. 2007).

Deteksi CyMV pada plbs Anggrek Dendrobium dengan ELISA
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) adalah suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA (Burgess 1995) adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader.
Prinsip pengujian virus dengan metode ELISA adalah antibodi (protein) virus yang spesifik teradsorpsi pada permukaan lubang “polystyrene microtiter plate”. Antibodi tersebut akan menangkap antigen (virus yang terdapat pada sampel). Selanjutnya virus tersebut akan bereaksi dengan spesifik antibodi yang telah dilabel dengan alkalin fosfatase. Ada tidaknya virus dalam sampel ditandai dengan berubahnya warna menjadi kuning setelah diberi penyangga substrat yang mengandung 4-nitrofenilfosfat. Perubahan warna terjadi karena 4-nitrofenil dirubah menjadi 4-nitrofenol yang intensitas warna kuningnya sebanding dengan banyaknya antigen yang tertangkap oleh antibodi (Clark & Adam 1977; BALITHI 2003)
Di Indonesia, informasi mengenai penyakit pada tanaman anggrek yang disebabkan oleh CyMV dan keragamannya masih sangat sedikit. Metode serologi yang telah berhasil dilakukan untuk mendeteksi CyMV diantaranya yaitu metode ELISA, digunakan untuk mendeteksi pada tanamana anggrek Grammatophyllum sp. (Silalahi 1992). Diagnosis CyMV juga telah berhasil dilakukan oleh Hu et al. (1993), dan Sherpa et al. (2007) dengan menggunakan metode serologi Double Antibody Sandwich (DAS) ELISA pada tanaman anggrek jenis Arachnis, Aranda, Asocentrum, Cymbidium, Catteleya, Dendrobium, Oncidium, Phalaenopsis, dan Vanda. Metode serologi ini menggunakan antiserum monoklonal yang bereaksi secara spesifik dengan protein selubung virus CyMV (Trigiano et al. 2004).

Deteksi CyMV dengan Teknik Molekuler
       Selain menggunakan metode serologi, deteksi dan identifikasi virus tanaman dapat juga dilakukan dengan teknik molekuler misalnya Reverse Trancriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Ryu et al. 1995) dan mikroskop elektron (Akin 2006). Metode ini terdiri atas dua reaksi, yaitu reaksi transkripsi balik (reverse transcription) yang menggunakan genom RNA virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA primer (untai tunggal) serta reaksi penggandaan (PCR) (Akin 2006). Metode RT-PCR ini telah terbukti dapat digunakan sebagai alat deteksi virus yang memiliki sensitifitas dan akurasi yang tinggi (Marshall & Atkinson 1991). Deteksi dengan RT-PCR telah berhasil dilakukan oleh Gara (1995) untuk mendeteksi CyMV dari tanaman anggrek Vanda. Identifikasi menggunakan mikroskop elektron dapat dilakukan dengan mengamati bentuk dan ukuran virion. Berdasarkan bentuk dan ukuran itu, dapat ditentukan jenis virus yang menyerang suatu tanaman (Akin 2006). Identifikasi virus dengan mikroskop elektron telah berhasil dilakukan oleh Han et al. Untuk menidentifikasi CyMV hasil pemurnian dari tanaman anggrek Catteleya spp.
Pengendalian
        Tidak ada cara untuk menyembuhkan tanaman yang memiliki virus . Satu-satunya hal yang harus dilakukan setelah tanaman terinfeksi adalah untuk menghancurkannya . Solusi manajemen terbaik adalah untuk mencegah penyebaran penyakit . Hal ini dicapai melalui desinfeksi yang efektif dari alat yang digunakan dalam budidaya , termasuk wadah plastik dan pisau cukur . Autoklaf , menyala , dan pengobatan kimia dengan larutan pemutih trisodium fosfat dan metode tradisional untuk desinfeksi . Penggunaan Streptomyces filtrat kultur , yang juga telah ditunjukkan untuk mendisinfeksi sapi gila penyebab penyakit prion , adalah disinfektan yang menjanjikan . Metode ini terbukti efektif dalam menghilangkan virus dari berbagai alat , kuku manusia , dan biji anggrek . Strategi manajemen kemungkinan lain adalah pengembangan ketahanan tanaman . Sebuah usaha untuk mengubah CymMV gen protein mutan gerakan ke anggrek Dendrobium sedikit sukses ( 9 dari 259 tanaman resisten dan menyatakan gen penanda ) ; keberhasilan transformasi sebenarnya memberikan perlawanan tampaknya terkait dengan mekanisme membungkam gen pasca transkripsi .

Daftar Pustaka
Akin H M. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.
[Balithi] Balai Penelitian Tanaman Hias.. 2003. Intruksi kerja metode virus. Laboratorium pengujian  BALITHI. Cianjur: BALITHI
[Balithi] Balai Penelitian Tanaman Hias. 2007. Panduan Karakterisasi Tanaman Anggrek. Cianjur: BALITHI
Burgess G W. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya, teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian GW. Burgess (Ed) Wayan T. Ariana (terjemahan). Gajahmada University Press. Yogyakarta.
Clark M F, Adam AN. 1977. Charateristics of the microplate of enzyme linked imunosorbent assay for the detection of plant viruses J. gen. virol 34 : 475 – 483
Gara IW. 1995. Studies on Cymbidium Mosaic Virus Isolated from Vanda Orchid. [thesis]. Japan: Research Institute for Bioresources, Okayama University
Hu J S, Fereira S, Wang M , Xu M Q. 1993. Detection of Cymbidium mosaic virus, odontoglossum ringspot virus, tomato spoted wilt virus, and potyviruses infecting orchids in Hawaii. Plant disease 77: 464-468.
Lawson, R, H. 1995. Viruses and their control. Pages 74-104. In: Orchid Pests and Diseases, American Orchid Society, West Palm Beach, Florida
Lee CS, Chang CY. 2006. Multiplex RT-PCR detection of orchid viruses with an internal control of plant nad5 mRNA. Plant Pathology 15: 187-196
Marshall G and Atkinson D. 1991. Molecular biology: Its practice and role in Crop Protection. Great Britain: The Lavenham Press Limited.
Miin D O J. 2005. Screening of a random peptide library with CyMV for potesial development of diagnostic kits. Malaysia: Malaysia University of Science and Technology.
Navalinskiene M, Raugalas J, Samuitiene M. 2005. Viral Diseases of Flower Plant 16. Identification of viruses affecting orchid Cymbidium  Sw. Biologyja 2: 29-34
Ryu KH, Yoon KE dan Park WM. 1995. Detection by RT-PCR of Cymbidium Mosaic Virus in orchids. Phytopathology 143:643-646 (15 ref.).
Sherpa A R, Hallan V, Pathak P, Zaidi A A. 2007. Complete nucleotide sequence analysis of Cymbidium mosaic virus Indian isolate: futher evidence for evidence for natural recombination potexviruses. Journal Bioscience 32 : 663-669
Syamsiah, Melissa.2011. Eliminasi Cymbidium mosaic virus pada Plbs Anggrek Dendrobium Menggunakan Zat Antivirus Ribavarin. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Jumat, 18 Juli 2014

Untuk Teman Lama

Hai teman lamaku,
kau tahu, dulu aku sering mengejek kesendirianmu. Tentang kamu yang selalu berjalan sendiri, tentang kamu yang seakan tak peduli akan ramainya dunia. Tentang kamu yang dengan datar membalas sapa.
Kau tahu, aku kini juga begitu.
Aku mulai mengerti kenapa dan mengapa.
Setelah semua penghianatan dan kekecewaan ini, menjadimu bukan sesuatu yang buruk.
Dunia ini sudah terlalu tua, begitu membosankan dengan sandiwara tua yang selalu sama, dengan sampah bertebaran di sudut jalan.
Harusnya engkau ada disini, biar kuceritakan betapa jenuhnya, betapa bosannya, betapa muaknya aku pada dunia ini.
Ah, aku mulai menikmati menjadimu.
Berjalan sendiri tak peduli pada mereka yang tersenyum padaku dengan pisau tersembunyi di balik punggung.
Biarkan mereka menyapa, aku akan menyapa dengan datar.
Takkan lagi ada pengorbanan untuk mereka.
Itu lebih baik daripada membunuh mereka bukan?
Aku ingin engkau menertawai ejekanku dulu.
Aku ingin kau puas, wahai sahabatku, kehampaan yang abadi
AAP 9-7-14

Selepas Adzan Subuh

Selepas adzan subuh, seorang pemuda berjalan disebuah lorong gelap
Di sudut mata, sebuah bayang hitam diam tak bergerak
"siapa kamu?"
Dia diam, mungkin lelah menahannya untuk tetap diam
"siapa kamu, yang menjawabku dengan tatapan kosong sedang aku tak kau izinkan masuk dari pertemuan mata kita?"
Dia tetap diam, mungkin nelangsa mematrinya dalam diam
Pemuda melihat lebih dalam pada tatap kosong bayang hitam, dan kemudian terhempas jiwa dari raganya-MATI
"ah, aku tahu. Kau adalah jiwaku setelah senja mati. kini kau tak lagi sepi, jiwaku telah datang padamu, bersama sepi yang sama"
Dia selamanya diam, dengan senyum kosong diwajahnya
"kau tak lagi sendiri, meski tetap sepi"

AAP 9-7-14

Kamis, 17 Juli 2014

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU HAMA TUMBUHAN DASAR RESISTENSI TANAMAN


DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia saat ini.  Dari tanaman padi tersebut akan dihasilkan beras yang menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras penduduk perkapita adalah 109-139 kg pertahun sehingga kebutuhan nasional beras pertahun adalah 66.649 juta ton beras (BPS 2010). Hal ini menyebabkan perhatian akan beras atau tanaman padi tidak ada henti-hentinya. Namun, dalam usah peningkatan produksi padi terus dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti serangan hama.
      Wereng coklat, Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae) merupakan hama utama padi di Indonesia. Sejak awal dekade 1970-an total kerusakan tahunan tanaman padi oleh wereng coklat berkisar 300.000-800.000 ha, dan perkembangannya terus meningkat setiap tahunnya (BBPOPT 2007). Kerusakan tanaman padi oleh wereng coklat dapat terjadi secara langsung akibat penghisapan hasil fotosintesis yang mengakibatkan penurunan kapasitas produksi. Kerusakan berat yang disebabkan oleh wereng coklat terkadang ditemukan di persemaian, tetapi sebagian besar menyerang pada saat tanaman padi masak menjelang panen (Kalshoven 1981).
          Berbagai teknik pengendalian yang telah dilakukan untuk mengendalikan serangan wereng coklat pada padi. Namun pada kenyataannya belum ada metode yang tepat untuk mengurangi dampak serangan. Bahkan di lapang kebanyakan para petani menggunakan pestisida yang merupakan senyawa yang dapat menimbulkan resitensi terhadap serangga hama jika diterapkan terus menerus, serta cara ini juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dengan matinya organisme bukan sasaran. Maka dari itu, dibutuhkan pengendalian terhadap wereng yang efesien dan ramah lingkungan.
      Salah satu pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi pemuliaan tanaman untuk menghasilkan tanaman padi yang tahan terhadap serangan wereng coklat yaitu dengan menanam padi yang resisten terhadap hama. Painter (1951) membagi mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu ketidaksukaan (antixenosis), antibiosis, dan toleransi.
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menguji varietas padi yang resisten terhadap serangan wereng coklat (Nilaparvata lugens).


BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan
Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum pengujian resistensi tanaman padi yaitu sebagaiberikut: Tanaman padi dalam pot berumur sekitar 4 minggu setelah tanam (penyemaian 3 minggu.); Varietas padi: tahan (PTB33), sedang (IR 64), rentan (Cisadane); Nimfa instar 4 (akhir) wereng coklat Nilaparvata lugens (Hemiptera: Delphacidae); Kurungan plastik berkasa; Aspirator; Kertas label.
Metode
            Langkah pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan masing-masing varietas tanaman padi di dalam pot plastik. Lalu diambil 6 ekor nimfa wereng coklat dari kurungan pembiakan wereng dengan menggunakan aspirator. Pengambilan harus dilakukan dengan hati-hati. Setelah itu nimfa wereng coklat tersebut dimasukkan ke dalam salah satu pot varietas tanaman padi.  Pemindahan dilakukan dengan cara meniup dengan perlahan aspirator hingga nimfa wereng keluar dari selang aspirator. Tanaman padi dikurung dengan kurungan plastik berkasa.  Jumlah nimfa wereng harus benar-benar sesuai (tidak boleh berbeda antara varietas padi). Setiap pot tanaman padi diberi label yang berisi nomor grup percobaan, varietas padi dan tanggal infestasi wereng. Tanaman padi dan biakan wereng dalam kurungan harus dijaga setiap hari.  Pot dijaga setiap hari agar tanaman padi tidak kekurangan air. Perkembangan populasi wereng coklat diamati pada minggu ke-1, ke-2 dan ke-3 setelah perlakuan.  Pengamatan meliputi: jumlah wereng coklat yang hidup pada tanaman padi (nimfa dan imago). Setiap grup melakukan 3 perlakuan (varietas tahan, sedang dan rentan) dengan 1 ulangan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Jumlah wereng cokelat yang hidup selama 3 minggu pengamatan pada beberapa varietas padi
Varietas
Kelompok
Jumlah individu minggu ke-
Foto
1
2
3
Cisadane

1

12

28

2
Description: SAM_2493.JPG
2
10
40
211

3
5
37
189

4
4
0
0

5
5
0
0



Rata-rata
7.2
21
80.4

PTB33

1

3

6

0
Description: SAM_2495.JPG
2
9
0
2

3
3
5
12

4
3
0
0

5
5
0
0



Rata-rata
4.6
2.2
2.8

IR64

1

5

14

20
Description: SAM_2494.JPG
2
5
9
16

3
9
16
19

4
4
1
1

5
4
0
31



Rata-rata
5.4
8
17.4


Pembahasan
Resistensi tanaman merupakan kemampuan tanaman untuk mencegah atau mengatasi gangguan dari faktor biotik atau faktor abiotik. Ketahanan tanaman sangat bervariasi tahapannya dari yang sangat tahan sampai yang sangat rentan. Sama halnya dengan tanaman lain, tanaman padi memiliki ketahanan yang berbeda-beda sesuai dengan varietasnya. Varietas padi yang berbeda dapat menunjukkan gejala yang berbeda meskipun diinfestasi oleh wereng yang memiliki ras atau biotipe yang sama. Ketahanan tanaman padi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor biofisik dari tanaman seperti ketebalan jaringan tanaman, trikoma, dan  faktor biokimia tanaman seperti kandungan nutrisi dan interaksi kedua faktor (Rahmini et al. 2012).
Padi yang digunakan pada praktikum ini adalah padi dari varietas padi Cisadane, IR 64, dan PTB 33. Diduga ketiga varietas tersebut memiliki ketahanan yang berbeda terhadap serangan wereng coklat. Kondisi ketiga tanaman padi tersebut pada akhir pengamatan berbeda-beda. Padi dengan varietas Cisadane memperlihatkan kondisi gejala yang sangat parah yaitu batang padi menunjukkan warna kuning seperti terbakar dan populasi wereng sangat banyak. Padi dengan varietas IR 64 memperlihatkan gejala yang tidak parah seperti tanaman varietas Cisadane. Padi dengan varietas PTB 33 diduga merupakan padi yang paling tahan diantara semua varietas yang digunakan pada praktikum. Jumlah rata-rata wereng yang terdapat pada padi varietas Cisadane minggu pertama yaitu 7,2, minggu kedua yaitu 21, dan pada minggu keempat 20,4. Jumlah rata-rata wereng yang terdapat pada padi varietas IR 64 minggu pertama yaitu 5,4, minggu kedua 6, dan minggu ketiga 17,4. Jumlah rata-rata wereng yang terdapat pada padi varietas PTB 33 minggu pertama yaitu 4,6, minggu kedua 2,2, dan minggu ketiga 2,8.
Resistensi pada tanaman dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Menurut Painter (1951) dalam Hasibuan (2011), terdapat tiga mekanisme yang ditunjukkan tanaman dalam menghambat serangan hama, yaitu: Antibiosis, yaitu mekanisme yang mempengaruhi atau menghancurkan siklus hidup hama, nonpreference (sekarang disebut antixenosis), menghindarkan tanaman dari serangan hama dalam pencarian makan, peletakan telur, atau tempat tinggal serangga. Namun, bila hama tidak menemukan alternatif tanaman lain, kerusakan parah pada tanaman tetap dapat terjadi, toleran, menunjukkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama, misalnya dengan tetap memberikan hasil tanaman yang baik. Tidak seperti halnya pada antibiosis dan antixenosis yang berpengaruh terhadap populasi hama, toleran tidak berpengaruh terhadap populasi hama.
           Muhuria (2003) berpendapat bahwa konsep pengendalian terhadap hama padi pada umumnya dilakukan dengan diversifikasi varietas unggul dan pergiliran tanaman pada satu hamparan.  Ketahanan tanaman inang dapat bersifat : (1) genetik, sifat tahan diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) kimiawi, ketahanan yang disebabkan oleh zat kimia yang dihasilkan oleh tanaman. Tingginya tingkat resistensi berbanding lurus dengan tingkat ketahanannya dimana semakin tinggi tingkat resistensi suatu tanaman, maka semakin tinggi pula ketahanan tanaman tersebut terhadap serangan hama. Hal ini dapat diamati dari kondisi tanaman dalam pengamatan. Jumlah wereng yang ditemukan akan berbanding terbalik dengan kondisi tanaman. Wereng cokelat akan sulit ditemukan dalam kondisi hidup pada tanaman dengan kondisi yang masih baik karena kemampuan resistensi terhadap serangan hamanya tinggi, sedangkan wereng akan banyak ditemukan pada tanaman padi yang mengalami kerusakan akibat pola makan wereng karena padi tersebut tidak memiliki ketahanan yang cukup kuat. Teori ini dibuktikan dalam praktikum dan telah dijelaskan pada paragraf dua. Varietas padi tahan PTB 33 cenderung memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi dibanding varietas IR 64 dan Cisadane, sehingga memiliki ketahanan terhadap serangan wereng coklat yang cukup tinggi dan kondisi tanaman setelah pengamatan masih dalam kondisi baik dimana kerusakannya sangat kecil  (Suprihatno et al. 2004). Kerusakan terparah didapat pada tanaman padi varietas Cisadane bila dibandingkan dengan varietas IR 64 yang memiliki tingkat resistensi sedang dimana keseluruhan tanaman menguning akibat serangan wereng cokelat dan jumlah wereng yang ditemukan cukup mengejutkan, yaitu sebanyak 80.4 ekor menurut rataan 5 kelompok.
          Cuaca dan adanya air dalam pot mempengaruhi jumlah wereng, meskipun dalam praktikum ini pokok bahasan utama adalah tentang resistensi tanaman padi.Suhu merupakan salah satu bagian dari cuaca dan setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia dapat hidup, dan pada umunya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu minimum. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar kisaran suhu tersebut serangga dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada proses fisiologis serangga, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain (Krebs 1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu minimum), 25ºC suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena 1990).
            Air merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan bagi mahluk hidup termasuk serangga. Namun kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan bahaya bagi kehidupan beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis kupu-kupu yang sedang beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang baru menetas. (Natawigena 1990). Serangga di alam memperoleh air melalui makanan yang mengandung air. Air pada pot bersama suhu menciptakan kelembaban (RH) yang dibutuhkan bagi perkembangannya. Pada umumnya serangga membutuhkan kelembaban tinggi bagi tubuhnya yang dapat diperoleh langsung melalui udara dan tanaman yang mengandung air (Krebs 1985). Kelembaban (RH): mempengaruhi penguapan cairan tubuh serangga, preferensi serangga terhadap tempat hidup dan persembunyian (terutama: iklim mikro) adalah dengan RH optimum 73-100%.
Tanaman padi resisten pada masyarakat memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Varietas padi resisten dalam penggunaannya ditujukan untuk pengendalain hama dan memiliki keuntungan seperti dapat mengendalikan populasi hama tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang, tidak berdampak negatif pada lingkungan, tidak membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu, dan tidak membutuhkan biaya tambahan lain dalam perawatannya (Wiryadiputra 1996). Penggunaan varietas resisten tidak selamanya efektif dilapang, terlebih lagi jika menggunakan varietas dengan ketahanan tunggal (ketahanan vertikal) secara terus menerus (Liu et al. 2000, Witcombe dan Hash 2000). Penggunaan tanaman resisten jika dilihat secara ekonomi memberi keuntungan karena tanaman resisten dapat meminimumkan kehilangan hasil akibat serangan hama dan dapat mengurangi pengeluaran untuk penggunaan pestisida. Keuntungan lain dari pemanfaatan tanaman resisten dalam pengendalian hama adalah: berkurangnya penggunaan pestisida kimia yang berarti mengurangi polusi racun kimia pada lingkungan dan dapat mempertahankan atau meningkatkan keanekaragaman spesies. Selain itu, pemanfaatan tanaman resisten dalam tataran operasional kompatibel ketika dikombinasikan dengan hampir semua taktik pengendalian.
               Tanaman resisten dalam pengendalian hama tanaman juga mempunyai kelemahan karena daya tahan suatu varietas unggul yang berhasil dirakit sampai sekarang terbatas menghadapi beberapa spesies hama saja. Varietas yang baru berhasil dirakit belum tentu disukai oleh petani dan konsumen, karena belum dapat memenuhi keinginan mereka, seperti rasa, umur tanaman, produktifitas, dan lain-lain sehingga masyarakat cenderung menanam padi dengan varietas yang rentan terhadap serangan hama. Penyebab terbatasnya pilihan varietas baru yang dapat diterima masyarakat disebabkan banyaknya biaya yang harus disediakan untuk mengganti varietas lama dengan yang baru dan penelitian memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan satu varietas unggul baru yang tahan terhadap satu spesies hama karena tidak mudah untuk menggabungkan faktor-faktor ketahanan dari suatu varietas atau organisme ke dalam varietas baru (Oka 1995).

PENUTUP

Simpulan
            Jumlah wereng dan gejala yang muncul pada setiap padi berbeda tergantung varietasnya. Percobaan di atas menunjukkan varietas yang rentan adalah varietas Cisadane karena setelah 3 minggu pengamatan tanaman seperti terbakar. Selain itu jumlah wereng wetiap minggunya terus meningkat. Cisadane tahan terhadap wereng coklat biotipe 2. Varietas IR 64 yang mempunyai ketahanan terhadap wereng coklat biotipe 3. Sedangkan, PTB 33 tahan terhadap wereng coklat biotipe 4. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa varietas padi paling tahan terhadap serangan wereng coklat adalah PTB 33, varietas dengan resistensi sedang adalah IR 64, sedangkan yang paling rentan adalah varietas padi Cisadane.
           
DAFTAR PUSTAKA
[BBPOPT] Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan. 2007. Serangan wereng coklat pada padi. [internet]. [diunduh 2014 Mei 22]. Tersedia pada http://www.bbpopt.tanamanpangan.deptan.go.id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi [internet]. [diunduh 2014 Mei 22]. Tersedia pada http://www.bps.go.id.
Kalshoven L G E. 1987. The Pest of Crops in Indonesia. Var der Laan PA, penerjemah. Terjemahan dari: De Plagen Van de Culturgeweassen in Indonesie. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-van Hoeve.
Krebs C J. 1985. Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Philadelphia (USA): Harper and Publishers. Inc

Muhuria La. 2003. Strategi Perakitan Gen-Gen Ketahanan Terhadap       Hama, Pengantar  Falsafah Sains. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 
Natawigena H. 1990. Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest    Control). Armico, Bandung (ID). Hal. 40-41.
Oka I N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Painter R H. 1951. Dalam Hasibuan S. 2011. Kajian ketahanan beberapa varietas padi [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatra Utara.
Painter R H. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. New York: The Mac Millan Company.
Rahmini, et al. 2012. Respons biologi wereng batang coklat terhadap biokimia tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 31(2): 117-123.
Suprihatno B, et al. 2004. Deskripsi Varietas Padi. Subang : Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Wiryadiputra S. 1996. Resistance of Robusta coffea to coffee root lesion nematode, Pratylenchus coffeae. Pelita Perkebunan. 12(3) : 137-148.