Cari Blog Ini

Jumat, 15 April 2011

Iwan Fals Sang Musisi Legenda

Indonesia harus berbangga mempunyai musisi seperti Iwan Fals. Penyanyi balada yang selama ini dikenal sebagai ‘corong’ bagi rakyat kecil ini sukses menggambarkan kondisi sosial dan politik di Indonesia lewat lagu-lagunya. Hanya bersenjatakan sebuah gitar, Iwan sukses merangkul fans hingga jutaan dan menjadi salah satu figur publik paling disegani di Indonesia.
Virgiawan Listianto dilahirkan di ibukota Jakarta, 49 tahun silam. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di kota Bandung. Ia juga pernah ikut salah satu saudaranya bermukin di kota Jeddah, Arab selama 8 bulan.
Bakat bermusik Iwan terasah ketika umur 13 tahun. Kala itu ia seringkali mengamen di jalan-jalan kota Bandung. Iwan melakukan hal tersebut bukan karena kekurangan secara materi. namun ia ingin belajar mandiri dan mengasah kemampunannya mencipta lirik lagu. Bahkan di sekolahnya semasa SMP, Iwan didapuk menjadi gitaris paduan suara sekolah.
Kesempatan pertama Iwan menjadi musisi profesional datang ketika seorang produser menawarinya untuk rekaman di Jakarta. Tanpa pikir panjang Iwan mengiyakan ajakan tersebut dan menjual motor kesayangannya untuk biaya membuat master rekaman. Kala itu, Iwan bersama ketiga rekannya, Toto Gunarto, Helmi dan Bambang Bule tergabung dalam grup musik bernama Amburadul. Namun sayang, sesuai nama grupnya, album pertama Iwan tidak laku di pasaran. Ia pun kembali melanjutkan hobi lamanya : mengamen.
Sembari mengamen, Iwan rajin mengikuti berbagai festival musik. Ia sempat memenangkan sebuah festival musik Country dan festival musik humor. Iwan bahkan sempat kembali ke dapur rekaman dengan sebuah album humor yang dirilis oleh ABC Records. Namun album tersebut kembali gagal menembus pasar dan hanya dinikmati kalangan tertentu saja.
Setelah merilis 4-5 album yang tidak ‘bunyi’, peruntungan mulai mendatangi Iwan saat ia menggarap album bersama sebuah label bernama Musica. Di label ini lagu-lagu Iwan digarap dengan serius. Pada album Sarjana Muda, misalnya, lagu-lagu Iwan digarap musisi kawakan Willy Soemantri.
Album Sarjana Muda banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan berbagai tawaran untuk bernyanyi. Kemudian sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Waktu siaran acara Manasuka Siaran Niaga di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat ditayangkan di TVRI.
Setelah cukup dikenal pun Iwan masih tetap menjalankan profesi sampingannya, menjadi pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi rumah-rumah dan di kawasan Pasar Kaget serta Blok M. Iwan baru berhenti total mengamen saat anak keduanya, Cikal, lahir pada tahun 1985.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, Iwan kerap kesulitan untuk manggung. Konsernya seringkali dibatalkan oleh aparat berwajib karena lirik lagunya yang dinilai kritis dan mencela pemerintah.
Ketenaran Iwan mencapai puncaknya ketika bergabung dengan grup musik SWAMI pada tahun 1989 dan merilis album dengan nama sama. Lagu-lagu dari album tersebut, seperti bento dan Bongkar, menjadi superhits karena liriknya yang begitu mewakili keadaan rakyat kecil. Iwan pun dianggap sebagai semacam sosok pahlawan pembela rakyat kecil. Lalu pada tahun 1990, Iwan bergabung dengan grup musik Kantata Takwa bersama pengusaha besar Setiawan Djody. Berkat dukungan Djody, grup musik Kantata Takwa dikenal kala itu sebagai grup musik Indonesia yang selalu menyelenggarakan konser musik terbesar dan termegah. Hal ini ditambah lagi dengan kharisma seorang Iwan Fals yang makin lama makin terang sinarnya.
Kharisma seorang Iwan Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum ‘akar rumput’. Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar di seluruh Nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan Oi. Yayasan ini mewadahi aktifitas para penggemar Iwan Fals. Hingga sekarang kantor cabang Oi dapat ditemui setiap penjuru Nusantara dan beberapa bahkan sampai ke mancanegara.
Lagu-lagu Iwan Fals sebagian besar menyoroti penindasan rakyat kecil oleh kaum-kaum ‘kelas atas’. Selain itu ada berbagai topik lain yang menjadi kegemarannya, yakni kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya. Iwan Fals tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain. Namun tidak hanya berkutat di politik dans osial, terkadang Iwan menunjukkan sisi lembut dan romantisnya di beberapa lagu . Salah satu yang paling ternama adalah lagu Kemesraan, yang diciptakannya bersama penyanyi Franky Sahilatua.
Selain menjadi musisi, Iwan juga menggeluti dunia bela diri. Gelar Juara II Karate Tingkat Nasional, Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989 pernah diraihnya. Ia sampai terpanggil masuk pelatnas dan mengajar karate di bekas kampusnya. Kegemarannya pada olahraga juga sempat mengantarnya menjadi kontributor sejumlah tabloid olah raga.
Iwan Fals menikahi Rossana, wanita yang selalu setia mendampinginya sejak masih menjadi musisi jalanan. Wanita yang akrab disapa Mbak Yos ini kini menjabat sebagai manajer Iwan.
Dari pernikahannya, Iwan dikaruniai tiga buah hati, yakni Galang Rambu Anarki (alm) , Annisa Cikal Rambu Basae, dan Rayya Rambu Rabbani. Kematian putra sulungnya, Galang, karena obat-obatan, sempat membuat Iwan Fals down dan berhenti berkarya selama beberapa tahun. Namun kecintaan Iwan untuk menyuarakan pikirannya lewat syair dan nada membuatnya kembali menggeluti dunia tersebut, hingga sekarang.
Sosok dan kharisma Iwan telah menjadi legenda, dan hingga saat ini pun dirinya masih rajin berkarya. Sunggu keteguhan hati yang pantas menerima sanjungan dari para generasi muda, dan menjadi panutan tentunya.




Jumat, 08 April 2011

Negara Islam Indonesia


PEMBERONTAKAN DII/TII
Gerakan DI/TII Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.

Riwayat Hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/4/45/Maridjan_Kartosuwirjo.jpg

Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.



Sejarah hidup Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. [1]
Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.[2]
Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.[2]
Karir
S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.[1]
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.[1]
Masa perang kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.

Negara Islam Indonesia
Peristiwa Penangkapan Kartosuwiryo
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September 1962.
Ibnu Hadjar
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fa/Ihadjar.jpg

Ibnu Hadjar
Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai bagian DI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950.

           Untuk menumpas pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintah
Republik Indonesia masih memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya.Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hajar diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan.
Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hajar dan anak buahnya menyerahkan diri secara resmi dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada Ibnu Hajar.
Amir Fatah
Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah, adalah salah satu pimpinan Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki, Jawa Timur sebelum bergolaknya pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Ketika Perjanjian Renville ditanda tangani oleh pihak Belanda dan Indonesia, maka semua kekuatan Republik diharuskan hijrah ke Jawa Tengah, termasuk kesatuan Hizbullah dan Fisabilillah yang dipimpinnya. Pada tahun 1950, ia memproklamirkan wilayahnya merupakan bagian DI/TII Kartosuwiryo. Melalui operasi yang dilakukan oleh TNI untuk sementara waktu kekuatan mereka melemah tetapi akibat ada pembelot, kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali kuat. Pada akhirnya pasukan Amir Fatah dapat ditaklukkan di perbatasan Pekalongan - Banyumas .
Abdul Kahar Muzakkar
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/4/40/Akmuzakkar.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.17/common/images/magnify-clip.png
Abdul Kahar Muzakkar
Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya Ladomeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.
Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.
Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga di kemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin . Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali .
Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah Belanda.Pada 17 Januari tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta .
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…” (Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: “Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…
Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
“…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus `hijrah’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia . Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta . Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….
…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: `Apakah siasat ini tidak merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, `Saya telah menempatkan orang kita disana`, seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul `Himbauan’, yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…
“…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud `orang kita’ atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?”