Cari Blog Ini

Rabu, 15 Januari 2014

TUGAS MK EKONOMI PERTANIAN (ESL 211) KELAS PARALEL PROTEKSI TANAMAN : SEBUAH KOMODITAS UNGGULAN TERABAIKAN BERNAMA KARET




DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013


I. PENDAHULUAN

1. 1   Latar Belakang
            Karet alam merupakan komoditas ekspor yang memberikan kontribusi besar dalam upaya peningkatan devisa negara. Indonesia sebagai produsen karet alam nomor dua di dunia memiliki luas lahan perkebunan karet yang lebih besar daripada Negara Thailand yang menduduki peringkat pertama dalam produksi karet. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas karet alamdi Indonesia masih rendah. Produk-tivitas karet alam yang rendah ini disebabkan oleh ketidakstabilan harga karet alam di Indonesia, sehingga membuat petani karet enggan menyadap lateks karena sering mengalami kerugian. 
            Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai lateks) yang diperoleh dari getah beberapa jenis tumbuhan pohon karet tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae). Ini dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respons yang menghasilkan lebih banyak lateks lagi.
            Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Pertanian yang ingin diwujudkan adalah pertanian yang maju, efisien, dan tangguh sehingga mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi serta menunjang pembangunan wilayah. Melalui perdagangan, hasil-hasil produksi pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun internasional. Secara khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan pemberdayaan sumberdaya domestik di suatu negara, sebagai sarana pelepasan atau penyaluran surplus bagi komoditi-komoditi pertanian dan sebagai sumber devisa utama yang pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi.
            Karet sebagai salah satu komoditas unggulan nasional memberikan sumbangan yang cukup besar bagi devisa negara dan memiliki prospek ekonomi yang cukup baik karena mampu bertahan selama masa krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam konteks perkembangan ekspor dunia terlihat bahwa pada periode tahun 1994-1998 ekspor karet dunia mengalami pertumbuhan sebesar 0.29 persen per tahun. Laju permintaan dunia adalah sebesar 2.5 persen per tahun sedangkan laju penawaran hanya 0.2 persen per tahun. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun pada periode 1998-2002, namun secara umum mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13.14 persen per tahun. Hal ini menunjukkan 2 peluang pasar bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih terbuka. Perhatian yang ditujukan dalam upaya merespon peluang pasar karet alam ini tidak hanya dalam bentuk peningkatan produksi tetapi juga harus memperhatikan sisi perdagangan (Deperindag 2004).
            Thailand memegang peranan penting dalam perdagangan karet pada akhir tahun 1980-an disaat Malaysia mengalami stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor karet Thailand baru mencapai sekitar 9.57 persen dari ekspor karet dunia namun pada tahun 1998 pangsa ekspornya tumbuh menjadi 40.78 persen. Pada periode yang sama, pangsa ekspor karet Indonesia adalah 22.8 persen dan 36.39 persen. Sementara itu pangsa ekspor Malaysia turun dari 44.81 persen pada tahun 1969 menjadi 9.45 persen pada tahun 1998. Namun produksi karet di ketiga negara tersebut terus meningkat. Pada periode 2001-2003, produksi karet alam Thailand mengalami peningkatan sebesar 9.15 persen dari 2 350 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 2 565 ribu ton di tahun 2003, produksi karet alam Indonesia meningkat sebesar 8.96 persen dari 1 540 ribu ton menjadi 1 678 ribu ton. Sedangkan Malaysia mengalami peningkatan produksi sebesar 18.72 persen.   Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris secara tradisional merupakan Negara pengimpor utama karet alam. Pada tahun 1969 ketiga negara mengimpor sekitar 37.10 persen dari impor karet alam dunia. Pada tahun 1998 pangsa impor ketiga negara mengalami peningkatan menjadi 42.16 persen. Perubahan pangsa impor ketiga negara tersebut terjadi karena adanya perluasan pasar ekspor oleh Negara-negara produsen terutama Malaysia. Data Departemen Perindustrian dan perdagangan menunjukkan bahwa impor karet alam Amerika Serikat pada periode 1998-2002 cenderung meningkat secara perlahan dengan tren sebesar 13.2 persen. Sejalan dengan kenaikan impor, konsumsi karet alam juga mengalami peningkatan. Hal yang sama terjadi untuk Jepang, namun hal tersebut tidak terjadi untuk Inggris. Impor karet alam Inggris saat ini sedang dalam kecenderungan menurun. Ketiga negara tersebut merupakan negara-negara pengimpor yang cukup penting bagi Indonesia (Prabowo 2006)

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa saja hasil olahan dari komoditas karet?
2.      Bagaimanakah pemanfaatan lahan di Indonesia untuk perkebunan karet dan produktivitas karet di Indonesia?
3.      Bagaimanakah pengolahan karet di Indonesia?
4.      Bagaimanakah produktivitas komoditas karet di Indonesia?
5.      Apa saja kendala atau permasalahan dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia?
6.      Apa saja solusi dari permasalahan dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia?

1.3  Tujuan
            Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui hasil olahan dari tanaman karet
2.      Mengetahui pemanfaatan lahan di Indonesia untuk perkebunan karet
3.      Mengetahui produktivitas karet di Indonesia
4.      pengolahan karet di Indonesia
5.      Mengetahui kendala atau permasalahan dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia
6.      Mengetahui solusi dari permasalahan dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia






II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Tanaman Karet
            Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut:
            Kingdom:   Plantae
            Divisi :       Spermatophyta
            Subdivisi :  Angiospermae
            Kelas :        Dicotyledonae
            Ordo :         Euphorbiales
            Genus :       Hevea
                        Spesies :     Hevea braziliensis Muell. Arg.
2.2  Karet Sebagai Penyumbang Devisa
Tanaman karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktifitas usahatani karet terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidayanya. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada  tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004.  Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas (Nazarrudin dan Paimi 2006).
Tabel 1. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir Utama
Negara
Ekspor (000 ton)
Pertumbuhan Per tahun (%)

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
Thailand
1 636 (38.5)
1 763  (40.2)
1 837  (40.1)
1 839  (39.0)
1 886  (40.4)
2 166 (43.8)
2 042  (39.6)

3.96
Indonesia
1 324 (31.2)
1 434 (32.7)
1 404 (30.7)
1 641  (34.8)
1 495  (32.0)
1 379 (27.9)
1 453  (28.2)

1.97

Malaysia
1 013 (23.8)
980  (22.3)
1 018  (22.2)
989 (21.0)
984  (21.1)
978  (19.8)
821 (15.9)

-3.23

Vietnam
82 (1.9)
195  (4.4)
194  (4.2)
191  (4.1)
230  (4.9)
269 (5.4)
293  (5.7)

30.34

Lainnya
195 (4.6)
18  (0.4)
127  (2.8)
50 (1.1)
75   (1.6)
148 (3.0)
551  (10.7)

145.63

Dunia
4 250
4 390
4 580
4 710
4 670
4 940
5 160
3.31

Tabel 2. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir Utama
Sumber : International Rubber Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
Keterangan : Angka dalam kurung (..) merupakan pangsa.
2.3 Tarif Ekspor
            Definisi dari pajak atau tarif ekspor adalah pajak untuk semua komoditi yang diekspor. Hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan eksportir adalah negara besar dimana perubahan pada jumlah ekspor dapat mempengaruhi harga dunia.
Tabel 2. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan

Eksportir
Importir
Surplus konsumen
A
-(g+h+i+j)
Surplus produsen
-(a+b+c+d)
g
Penerimaan pemerintah
c+k
-
Net National Welfare
k-(b+d)
-(h+i+j)
Net World Welfare
-(b+d+h+j)=e+f
-(b+d+h+j)=e+f
Net World Welfare -(b + d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
            Tarif ekspor memberikan dampak terhadap penurunan kesejahteraan nasional di negara importir sebesar daerah (h + i + j), sedangkan dampak tarif bagi kesejahteraan di negara eksportir sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran. Jika pada tingkat pajak ekspor tertentu daerah (b + d) lebih besar dari pada k, maka kesejahteraan nasional bersih bagi eksportir akan memburuk. Pajak ekspor digunakan oleh suatu negara biasanya adalah untukmelindungi konsumen domestik dari harga komoditas ekspor yang tinggi dan untuk mendapatkan penerimaan bagi negara. Namun ternyata dampak dari tarif ekspor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi (Prabowo 2006).

III.  PEMBAHASAN

3.1 Hasil Olahan Komoditas Karet
            Tanaman karet merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan dengan optimal. Mulai dari getah karet, biji karet, sampai dengan kayu karet dapat diolah untuk meningkatka nilai tambah.  Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual atau diperdagangkan oleh masyarakat berupa lateks segar, slab(koagulasi) ataupun sit asap atau sit angin. Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, sepatu karet, sarung tangan, dan lain sebagainya.
            Hasil sampingan dari pohon karet adalah kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun ataupun peremajaan kebun karet tua atau tidak menghasilkan lateks lagi. Umumnya kayu karet yang diperjual belikan adalah dari peremajaan kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan penanaman karet baru lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture).
Pemanfaatan kayu karet merupakan peluang baru untuk meningkatkan margin keuntungan dalam industri karet. Pada saat ini tidak hanya getah karet saja yang diminati oleh konsumen, tetapi kayu karet sebenarnya juga banyak diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri, karena warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di samping itu, kayu karet juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi persyaratan ekolabeling karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan kegunaan yang cukup luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle board, parquet, MDF (Medium Density Fibreboard) dan lain sebagainya (Deptan 2006). Oleh karena itu, industri karet pada saat ini bukan hanya berorientasi untuk produksi getah karet tetapi juga untuk produksi biji dan kayu karet.


3. 2  Pemanfaatan Lahan untuk Komoditas Karet di Indonesia
Karet  merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004.Pendapatan devisa dari komoditi ini padatahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karetmilik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton (Anwar  2006).
Gapkindo memperkirakan areal perkebunan karet di Indonesia pada 2010 seluas 3,445 juta ha dan diperkirakan bertambah 5.000 ha pada 2011 (Sihotang, 2011). Saat ini luas areal pertanaman karet di Sumatera Utara tahun 2010 adalah 463.851 ha dengan produksi 413.597 ton serta produktivitasnya 1.015 ton per ha. Untuk total luas areal Indonesia adalah 3.445.121 ha dengan produksi 2.591.935 ton serta produktivitas 935 kg per ha (BPS, 2011).
Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia.  Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3,2 juta ha, disusul  Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India  (0,6 juta ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari areal tersebut diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar 2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati  Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton), dan Vietnam  (0,4 juta ton). Dengan luasan areal perkebunan karet yang ada diindonesia menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan areal perkebunan Indonesia saat ini masih belum optimal. Dengan luasan areal terluas didunia, Indonesia masih belum bias menjadi negara dengan produksi terbesar karet didunia.


3. 3  Produktivitas Karet di Indonesia
Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengungkapkan produksi industri karet nasional masih rendah. Padahal, Indonesia memiliki areal karet paling luas di dunia yakni sebesar 3,4 juta hektar. Dalam hitungan per hektarnya, produktivitas karet lokal masih kalah dibanding produksi di Malaysia dan Thailand. Produksi dalam negeri hanya mencapai satu ton, kalah dengan Malaysia sudah memproduksi 1,3 ton per hektare, Thailand 1,9 ton per hektar.
            Sektor industri karet menyerap tenaga kerja dan terkait langsung dengan industri kurang lebih sebanyak 2,1 juta orang. Sementara untuk yang tidak terkait langsung dengan industri karet tersebut telah menyerap tenaga kerja kurang lebih sebanyak 100 ribu orang. Dengan demikian, hal tersebut merupakan peluang bagi industri karet nasional untuk terus berproduksi maksimal. Meskipun demikian, masih ada tantangan berupa pembinaan terhadap perkebunan rakyat agar dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, perlu hilirisasi produk crumb rubber dan lateks untuk menjadi produk karet hilir yang bernilai tambah tinggi.
            Industri karet dan barang karet di dalam negeri memiliki luas lahan perkebunan karet terluas di dunia dan berdasarkan Kebijakan Industri Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008, Industri karet dan plastik merupakan bagian dari kelompok industri yang diprioritaskan dalam pengembangannya. Pemerintah hingga saat ini dinilai masih abai dalam membangun industri hilir karet. Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand. Sayangnya, sekitar 85% produksi karet dalam negeri masih diekspor dalam bentuk karet mentah dan sisanya untuk konsumsi dalam negeri.
Produktivitas karet Indonesia masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan Thailand dalam memproduksi karet setiap tahunnya. Akan tetapi, dengan memiliki tanah seluas tiga juta hektar lahan, Indonesia hanya mampu memproduksi tiga juta ton karet per tahunnya, sedangkan Thailand yang punya dua juta ha lahan bisa memproduksi tiga juta ton lebih dalam setiap tahunnya. Produktivitas tanaman karet di Indonesia masih sangat rendah, saat ini hanya mencapai 1.080 kg/ha. Nilai produktivitas tersebut masih jauh tertinggal di bawah India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Srilanka, China, Kamboja maupun Filipina.  Hal ini menggambarkan bahwa perkebunan karet kita meskipun sangat luas, tapi belum menerapkan pola manajemen yang optimal. Baik dari aspek kualitas bibit, penyakit tanaman karet maupun aspek lainnya, termasuk teknik pemanenan dan pengolahan pasca panen.
3.4 Pengolahan Karet di Indonesia
Bahan olah karet dari petani pada umumnya berupa bekuan karet yang dibekukan dengan bahan pembeku yang direkomendasikan (asam format), maupun yang tidak direkomendasikan (asam cuka, tawas, dsb), serta pembekuan secara alami. Pada saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi pasar karet di Indonesia karena dinilai petani paling praktis dan menguntungkan.
Sebagian besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam bentuk Ribbed Smoked Sheet (RSS) dan lateks pekat. Kapasitas pabrik pengolahan crumb rubber pada saat ini sesungguhnya sudah melebihi dari kapasitas penyediaan bokar dari perkebunan rakyat, namun pada lima tahun mendatang diperlukan investasi baik untuk merehabilitasi pabrik yang ada maupun untuk membangun pabrik pengolahan baru untuk menampung pertumbuhan pasokan bahan baku yang diperhitungkan akan meningkat seiring dengan gencarnya upaya-upaya peremajaan dan perluasan areal kebun karet yang baru.
Pada awalnya sebagian besar karet alam Indonesia diperdagangkan dalam bentuk karet lembaran yakni karet sit asap (RSS = ribbed smoked sheet), Namun sejak diperkenalkan teknologi karet remah (crumb rubber) pada tahun 1968, produksi karet sit secara dramatis menurun, beralih ke karet remah, tidak kurang dari 90% produksi karet alam nasional setiap tahunnya merupakan karet remah.
            Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor, dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan, menyebabkan perkembangan teknologi karet remah saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun 1969 terdapat 65 pabrik, kini sekitar 115 pabrik karet remah yang aktif beroperasi di Indonesia.
Tuntutan permintaan yang tinggi dari sektor transportasi terhadap karet alam sukar dipenuhi oleh karet lembaran, karena karet jenis ini memerlukan waktu pengolahan yang cukup lama yakni 7-14 hari. Dengan teknologi karet remah, bahan olah karet secara cepat, kurang dari satu hari dapat diolah menjadi karet mentah yang siap untuk dijual. Selain itu, mutu karet remah dinilai berdasarkan hasil analisis fisiko-kimia, sehingga dianggap lebih baik dibandingkan mutu karet lembaran yang dinilai hanya berdasarkan pengamatan visual dan bersifat subyektif.
Pada saat karet lembaran masih mendominasi produksi karet alam, petani berperan sebagai penghasil lateks, dan banyak juga yang sekaligus sebagai pengolahnya untuk dijadikan karet sit. Namun sejak penerapan teknologi karet remah, petani umumnya hanya berperan sebagai penyedia bahan olah berupa lump dan slab. Lump merupakan bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang digumpalkan menjadi berbentuk mangkok berdiameter sekitar 10-15 cm, sedangkan slab berbentuk balok tipis hingga berukuran sekitar 35cm x 50cm, tebal 20 cm.
Bahan olah karet dari petani dijual ke prosesor akhir yakni pabrik karet remah untuk diolah menjadi karet remah jenis SIR (Standard Indonesian Rubber) 10, atau SIR 20. Pengolahan melibatkan serangkaian proses mulai dari pengecilan ukuran, pencucian, homogenisasi, pengeringan dan pengemasan. Sejak dimulainya era karet remah, SIR 20 senantiasa mendominasi jenis karet remah yang diproduksi. Saat ini ekspor karet remah SIR 20 sekitar 85%. Dengan demikian tampak bahwa bahan olah karet lump dan slab sangat penting peranannya sebagai bahan baku untuk pembuatan karet remah. Untuk kurun waktu 5 tahun terakhir, karet SIR 20 sangat dominan sebagai produks ekspor, rata-rata porsinya mencapai hampir 90%.

3.5 Kendala dan Permasalahan Komoditas Karet
Kegiatan perkebunan karet yang sudah sejak dahulu kala di Indonesia bukan berjalan tanpa hambatan. Permasalahan umum yang banyak terjadi pada saat penanaman, pemeliharaan, dan panen. Masalah yang umumnya terjadi adalah eksploitasi yang berlebihan yang menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit, pengaturan gilir sadap yang terlalu cepat, sadapan yang dipaksakan ketika hari hujan, sadapan dilakukan pada panel sadap yang tidak seharusnya, kemiringan bidang sadap yang melebihi standar, dan presentasi getah yang terbuang percuma. Selain itu ada satu hal yang nampaknya selalu menjadi masalah yaitu sarana pengangkutan hasil produksi yang kurang memadai diakibatkan jauhnya jarak dan medan tempuh yang sulit untuk dilalui.
Bahan baku karet yang dihasilkan umumnya bermutu rendah, dan pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih relatif rendah (60-75% dari harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran bahan olah karet rakyat (bokar), antara lain disebabkan lokasi kebun jauh dari pabrik pengolah karet dan letak kebun terpencar-pencar dalam skala luasan yang relatif kecil dengan akses yang terbatas terhadap fasilitas angkutan, sehingga biaya transportasi menjadi tinggi.
Akhir-akhir ini jumlah sumberdaya manusia yang memiliki minat pada perkebunan karet juga mulai berkurang sehingga perawatan dan pengolahan dibidang perkebunan karet menjadi terganggu. Berkurangnya SDM berdampak pada kurang terawatnya lahan dan kurang diperhatikannya mangkok penadah getah. Padahal, getah yang kotor menyebabkan harga jual getah karet akan sangat berkurang.
Produksi getah pada tanaman karet ditunjang oleh banyak faktor, Salah satu faktor yang umumnya paling mempengaruhi adalah kondisi tanaman karet itu sendiri. Tanaman keret yang sehat akan menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan saat tanaman tersebut dalam keadaan sakit. Akan tetapi hal penting seperti ini Nampaknya belum mendapat perhatian utama dari para petani karet yang pada umumnya belum menguasai teknologi ataupun ilmu tentang pengolahan perkebunan karet. Pemupukan ideal yang seharusnya dapat mengoptimalkan kondisi tanaman karet nampaknya masih menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh para petani karet di Indonesia sekarang ini. Padahal pemberian pupuk dengan dosis optimal selain membuat tanaman menjadi subur, pemberian pupuk juga mempercepat pemulihan kulit karet yang disadap ( Nazaruddin dan F B Paimin 1998).
Petani tradisional cenderung mengandalkan kebaikan alam untuk merawat pohon-pohon karet mereka dan lebih fokus mengekploitasi tanaman karet dengan cara penyadapan karet yang berlebihan tanpa memikirkan bahwa eksploitasi seperti itu akan menyebabkan karet menjadi sakit dan akhirnya para petani juga yang rugi karena produksi karet sudah pasti menurun. Pergiliran penyadapan adalah hal yang sangat penting dilakukan karena tanaman karet membutuhkan waktu untuk memulihkan luka sadap. Teknik penyadapan yang ditemui pada perkebunan karet tradisional pada beberapa kasus sangat jauh dari kata baik. Menurut Aidi dan Daslin (1995) penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas cambium dengan menggunakan pisau sadap. Jika terlalu dalam dapat membahayakan tanaman, dan untuk mempercepat penyembuhan luka sayatan maka sayatan tidak boleh mengenai xylem, yaitu sedalam 1,5 mm sebelum Kambium. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi dilapangan adalah, penyadapan yang tidak teratur dibuktikan dengan banyaknya pohon yang memiliki luka yang tidak mengalami penyembuhan kulit.
Indonesia sebagai negara penghasil karet nampaknya belum dapat mengoptimalkan karet sebagai salah satu penyumbang devisa. Selama ini Indonesia hanya mengekspor karet dalam bentuk getah karet sebagai prioritas utama, bukan dalam bentuk jadi seperti ban, sepatu, sendal, ataupun bentuk jadi lain yang tentunya akan lebih menyumbang devisa bila dibandingkan dengan getah karet. Ini menjadi sebuah ironi yang sangat menyedihkan untuk sebuah negara yang membanggakan diri sebagai Negara pengekspor karet papan atas. Pengolahan karet di luar ban kendaraan saat ini masih kurang dari 30% disebabkan industri pengolahan karet diluar ban hanya berskala kecil dan menengah (Prabowo 2006).
Kurangnya produktivitas karet olahan dalam bentuk jadi selain ban diperparah oleh belum berkembangnya industry pada sector ini akibat menghadapi banyak kendala. Kendala utama pada industry karet Indonesia adalah  rendahnya daya saing produk-produk industri lateks Nusantara bila dibandingkan dengan produsen lain, terutama Malaysia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pembinaan dalam pengembangan usaha barang berbasis karet. kurangnya bantuan dari institusi negeri yang bergerak dalam bidang jasa penelitian dan pengembangan, regulasi, perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa lainnya juga memberi sumbangsi dalam makin terpuruknya industri pengolahan karet Nusantara.
 Industri yang berfokus pada produksi barang berbasis karet di Indonesia tidak dapat dikatakan tidak ada. Banyak industri-industri dalam skala kecil dan menengah namun hanya beberapa saja yang sukses diakibatkan kurangnya hubungan secara interpersonal dengan usaha lainnya baik dalam pengadaan bahan baku maupun dalam sistem pemasarannya. Padahal dalam memproduksi barang jadi, mereka memerlukan kerjasama dengan pabrik kompon sebagai penyedia bahan baku utama karena pada umumnya industri skala kecil belum memiliki kemampuan untuk memproduksi kompon (bahan setengah jadi). Permasalahan juga terjadi saat pemasaran hasil, karena mereka membutuhkan perusahaan besar seperti pabrik otomotif dan pabrik otomotif sebagai tujuan pemasaran produk untuk mendapatkan keuntungan yang baik ketika menjual produknya dan tampaknya hal ini masih sulit dilakukan. Beberapa industri kecil memilih untuk menjual secara mandiri produk-produknya, namun cara ini dirasa kurang efektif karena perilaku sebagian besar konsumen sekarang ini adalah membeli “brand” produk tersebut bukan membeli karena kualitas. Kerjasama dengan mitra hanya dilakukan secara informal atas dasar saling percaya tanpa adanya suatu ikatan kontrak formal, misalnya tentang royalty. Padahal setelah dikemas oleh perusahaan besar ditambah dengan nama merek terkenal, harganya menjadi berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan harga barang saat dijual pada tingkat pengerajin.
Kenyataan yang ditemui di lapangan, industri kecil dan menengah cenderung mengandalkan pesanan (capative market) karena industri dalam skala ini dikelola dalam bentuk industri tangga secara informal. Pengerajin dalam industri barang jadi berbasis karet dalam skala kecil dan menengah menjalankan usahanya sendiri-sendiri dan interaksi antar pengerajin hamper tidak ada. Hal ini disebabkan pola pikir pengerajin yang menganggap bergabung dalam asosiasi ataupun koperasi dibidang indusrti karet tidak ada untungnya. Pengerajin dalam skala ini biasanya hanya mengandalkan teknologi sangat sederhana seperti proses pencetakan dan pemasakan (vulkanisasi) yang telah ada sejak dulu kala tanpa mengikuti teknologi terbaru yang tentunya akan lebih menguntungkan. Proses pemasakan (vulkanisasi) yang dilakukan sebagian pengerajin menggunakan kompor tradisional yang sangat sederhana sehingga pengukuran suhu dan waktu hanya didasarkan pada pengalaman, padahal untuk mendapatkan produk berbasis karet yang bagus memerlukan suhu dan lama proses yang tepat.
3.6 Solusi Permasalahan Komoditas Karet Indonesia
Pemerintah harus membuat kebijakan untuk meningkatkan kapasitas prodiksi karet alam Indonesia agar bisa setidaknya sama dengan Negara lain. Pengguan teknologi baru dalam pengolahan hasil karet alam juga perlu dikembangkan agar Indonesia tidak hanya mengekspor karet setengah jadi tetapi juga bisa mengekspor barang jadi. Sebagai salah satu komoditi pertanian, produksi karet sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan proses produksinya. Produk industri perkebunan karet perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang senantiasa berubah.
            Karet alam yang diperdagangkan saat ini umumnya sudah memasuki tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan mengikuti mekanisme pasar. Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat dan Jepang, karet alam diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif maupun non tarif. Tidak adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang tidak dapat menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika dilakukanhambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam negerinya.
            Kebijakan perdagangan di negara eksportir yaitu Thailand adalah dalam bentuk tarif atau pajak eskpor. Kebijakan tersebut diberlakukan oleh Thailand dalam upaya untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik. Menurut Limbong (1994), Thailand menerapkan pajak ekspor karet alam pada tingkat relatif tinggi, sedang dan rendah dalam tiga periode yaitu tahun 1969-1982, 1983-1988, dan 1989-1998. Setelah periode tersebut pajak ekspor yang dibebankan pemerintah Thailand terhadap eksportir karet alamnya adalah sebesar 0.9 Bhat per kilogram.
            Indonesia pernah menerapkan pajak ekspor terhadap komoditas karet alam yaitu sebesar 10 persen pada periode tahun 1969-1975, kemudian sebesar 5 persen pada periode tahun 1976-1981 dan 0 persen sejak 1982 (Limbong, 1994). Saat ini ekspor karet alam Indonesia tidak dibebani oleh tarif atau pajak ekspor oleh pemerintah. Sedangkan untuk komodiats karet alam yang diimpor oleh Indonesia dikenai oleh pajak impor yang besarnya adalah 5 persen dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.
            Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjulan atas barang mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000, komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Kebijakan ini menyebabkan konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk merubah keputusan yang merugikan ini (Prabowo 2006).
            Selain kebijakan perdagangan dalam hal pajak baik ekspor maupun impor, pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang terkait dengan upaya distorsi perdagangan karet alam melalui pembentukan International Tripartite Rubber Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002 pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber Corporation (NTRC).
Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional, dikemukakan bahwa berdasarkan pertimbangan terdapatnya permasalahan yang mendesak yakni penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, pengolahan hasil pertanian dalam arti luas dan sumber daya alam negeri, dan memiliki potensi pengembangan ekspor yang tinggi maka fokus pembangunan industri pada adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1) Industri makanan dan minuman; 2) Industri pengolahan hasil laut; 3) Industri tekstil dan produk tekstil; 4) Industri alas kaki; 5) Industri kelapa sawit; 6) Industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); 7) Industri karet dan barang karet; 8) Industri Pulp dan kertas; 9) Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan 10) Industri petrokimia. Pengembangan 10 klaster industri inti tersebut, secara komprehensif dan integratif, ditunjang industri terkait (related industries) dan industri pendukung (supporting industries). Permintaan pasar otomotif yang memasang standar tinggi menyebabkan ban harus dibuat dari bahan karet yang memiliki kualitas terbaik juga yang didukung oleh teknologi yang mutakhir ( Suhendry dan A Daslin 2002)
Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan industri pengolahan karet adalah industri berskala kecil, menengah dan besar, dimana dalam jangka menengah yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu Bahan Olah Karet (Bokar) sesuai SNI, terpeliharanya kestabilan harga di tingkat petani, dan tumbuhnya industri pendukung (terutama koagulan, bead wire, nylon tyre-cord, dll). Sedangkan dalam jangka panjang, target pengembangan industri karet adalah menjadikan Indonesia sebagai produsen karet olahan nomor satu dunia yang ditunjang oleh industri pendukung yang kuat (Prabowo 2006).
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui  perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa  memberikan modal bagi petani atau perkebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif (Nazarrudin dan Paimi 2006).
Upaya yang dilakukan petani sebagai pengganti sumber pendapatan dari tanaman karet dapat bermacam-macam. Kayu karet yang ditebang dapat dimanfaatkan karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sehingga petani dapat menggunakan hasil penjualan kayu karet sebagai tambahan modal untuk meremajakan kebun karetnya. Nilai kayu karet bervariasi mulai dari satu juta rupiah sampai enam juta rupiah per hektar (Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Selatan 2004)
Dalam menjawab tantangan peningkatan produksivitas tanaman dan kebun, telah tersedia beberapa klon karet unggul dengan dengan potensi produksi lateks > 3 ton/ha/tahun dan kayu karet >1 m3/pohon. Selain itu juga telah tersedia paket teknologi eksploitasi, pemupukan, dan pemeliharaan tanaman yang dapat meningkatkan efisiensi dan profitabilitas usaha perkebunan. Di bidang pasca panen juga tersedia berbagai teknologi/inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu, nilai tambah dan mengambangkan produk industri hilir karet. Dengan semakin berkembangnya teknologi otomatisasi dalam pembuatan barang jadi karet di negara konsumen karet alam, maka tuntutan ke arah mutu produk yang dpesifik semakin besar.

IV. SIMPULAN DAN SARAN
4. 1 Simpulan
Karet  merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004.Pendapatan devisa dari komoditi ini padatahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karetmilik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton.
Permasalahan komoditas karet yang umumnya terjadi di Indonesia adalah eksploitasi yang berlebihan yang menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit, pengaturan gilir sadap yang terlalu cepat, sadapan yang dipaksakan ketika hari hujan, sadapan dilakukan pada panel sadap yang tidak seharusnya, kemiringan bidang sadap yang melebihi standar, dan presentasi getah yang terbuang percuma. Selain itu ada satu hal yang nampaknya selalu menjadi masalah yaitu sarana pengangkutan hasil produksi yang kurang memadai diakibatkan jauhnya jarak dan medan tempuh yang sulit untuk dilalui.
            Hasil produksi karet alam Indonesia saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak pertambahan nilai. komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat perkaretan Indonesia untuk merubah keputusan yang merugikan ini.
            Kebijakan yang tepat, pemberdayaan petani, penyediaan sarana dan prasarana, danterutama teknologi yang mutakhir sangat diperlukan untuk mengoptimalkan keuntungan pada komoditas karet. Upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui  perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa  memberikan modal bagi petani atau perkebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan industri pengolahan karet adalah industri berskala kecil, menengah dan besar, dimana dalam jangka menengah yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu Bahan Olah Karet (Bokar) sesuai SNI, terpeliharanya kestabilan harga di tingkat petani, dan tumbuhnya industri pendukung (terutama koagulan, bead wire, nylon tyre-cord, dll).

4. 2 Saran
            Pengkajian lanjut tentang komoditas karet sangat dibutuhkan mengingat potensi karet sebagai komoditas ekspor unggulan sangat besar. Setelah melakukan pengkajian diharapkan adanya perhatian lebih dari pemerintah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana seperti peminjaman modal, penyediaan jalur pasar yang menguntungkan semua pihak, dan pengutamaan perizinan penggunaan lahan untuk perkenunan karet.
           




DAFTAR PUSTAKA
 [Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Hasil pencarian berdasarkan komoditi pangan.[Internet][diunduh pada 2013 Desember 27] tersedia pada: www. database. deptan. go. Id.
 [Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2007. Gambaran sekilas industri karet.[Internet][diunduh pada 2013 Desember 29] tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/download/288/Paket-Informasi-Komoditi-Karet
Aidi dan A Daslin. 1995. Pengelolaan bahan Tanaman Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa, Palembang.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1997. Perkembangan Industri Karet dan      Barang Jadi Karet. Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta.
___________________________________. 2004. Statistik Perdagangan Karet     Alam. Pusat Data dan Informasi Deperindag, Jakarta.
Limbong W H. 1994. Keragaman Karet Alam Indonesia Ditinjau dari Jenis Pengusahaan dan Wilayah Produksi. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nazaruddin dan F B Paimin. 2006. Karet, Strategi Pemasaran dan Pengolahan. Penebar  Swadaya. Jakarta. Penebar Swadaya
________________________. 1998. Karet. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prabowo D W. 2006. Dampak Kebijakan Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia. Tesis Master. Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suhendry I dan A Daslin. 2002. Kajian Finansial Penggunaan Klon Karet Unggul Generasi IV. Warta Pusat PenelitianKaret, Vol. 21, No. 1- 3, p. 18-29.


LAMPIRAN

Tabel 3. Produksi Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton), 1995 - 2013**


Tahun
Karet Kering
Minyak Sawit
Biji Sawit
Coklat
Kopi
Teh
Kulit Kina
Gula Tebu 1)
Tembakau 1)




1995
341.00
2476.40
605.30
46.40
20.80
111.08
0.30
2104.70
9.90


1996
334.60
2569.50
626.60
46.80
26.50
132.00
0.40
2160.10
7.10


1997
330.50
4165.69
838.71
65.89
30.61
121.00
0.50
2187.24
7.80


1998
332.57
4585.85
917.17
60.93
28.53
132.68
0.40
1928.74
7.70


1999
293.66
4907.78
981.56
58.91
27.49
126.44
0.92
1801.40
5.80


2000
375.82
5094.86
1018.97
57.73
28.27
123.12
0.79
1780.13
6.31


2001
397.72
5598.44
1117.76
57.86
27.05
126.71
0.73
1824.58
5.47


2002
403.71
6195.61
1209.72
48.25
26.74
120.42
0.64
1901.33
5.34


2003
396.10
6923.51
1529.25
56.63
29.44
127.52
0.78
1991.61
5.23


2004
403.80
8479.26
1861.97
54.92
29.16
125.51
0.74
2051.64
2.68


2005
432.22
10119.06
2139.65
55.13
24.81
128.15
0.83
2241.74
4.00


2006
554.63
10961.76
2363.15
67.20
28.90
115.44
0.80
2307.00
4.20


2007
578.49
11437.99
2593.20
68.60
24.10
116.50
0.52
2623.80
3.10



2008
586.08
12477.75
2829.20
62.91
28.07
112.80
0.40
2668.43
2.61


2009
522.31
13872.60
3145.55
67.60
28.67
107.35
0.60
2333.89
4.10


2010
541.49
14038.15
3183.07
65.15
29.01
100.07
0.72
2288.74
3.37


2011
572.80
15198.05
3446.04
67.54
22.22
95.10
0.43
2244.15
2.37


2012*
582.41
15420.67
3451.39
77.36
24.75
98.60
0.47
2600.35
2.76


2013**
278.01
9318.75
2437.99
22.50
6.61
43.41
0.07
172.93
1.98


Catatan :

1). Termasuk produksi yang menggunakan bahan mentah dari perkebunan rakyat



 *). Angka sementara
**). Angka sangat sementara
Sumber : BPS.go.id






















Diagram Pengolahan Karet