Cari Blog Ini

Sabtu, 12 Oktober 2013

PEMUDA SEBAGAI PILAR PERTANIAN ZAMRUD KHATULISTIWA



Oleh: Abdul Aris Pradana
Zamrud khatulistiwa, salah satu julukan Indonesia yang seharusnya benar, karena keadaan alamnya yang sangat bersahabat dimana hujan turun merata setiap tahun hampir di semua tempat di Indonesia, tanahnya sangat subur sehingga tumbuhan dapat tumbuh meskipun tidak dirawat, dan bukan untuk menyombongkan bangsa sendiri, Indonesia dapat dikatakan sebagai surganya flora dan fauna dunia, surganya makhluk-makhluk eksotis yang tidak akan kita temukan di belahan bumi lainnya. Tidak hanya alamnya tetapi juga masyarakat yang terkenal akan kekayaan budaya, kearifan lokal, tradisi, serta nilai-nilai keluhuran yang selalu dijunjung tinggi. Kenapa saya menggunakan kata seharusnya benar pada awal paragraf di atas? Alasannya adalah masih rendahnya rendahnya kebanggaan hakiki atas negeri sendiri. mungkin kita dapat mengaku bangga, bercerita panjang lebar tentang sumber daya alam dan manusia yang ada di Indonesia. Tetapi apakah hanya itu yang kita bisa? Kenapa kita tidak memanfaatkannya? Kenapa kita hanya diam saja dan baru berteriak ketika bangsa lain mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya kita? Kenapa kita baru melakukan demo ketika sawah-sawah kita diubah menjadi gedung-gedung pencakar langit?
Pertanian, sebuah kata dan kalimat yang sebenarnya tidak asing lagi bagi semua orang. Namun, pada kenyataannya begitu asing dan sangat langka ditemukan pada semangat generasi muda sekarang ini. Coba saja tanyakan cita-cita dan impian para penerus bangsa, maka jawaban mereka tidak jauh-jauh dari sarjana teknik, teknologi, dan informatika, atau bahkan pertambangan yang bila dilihat sekilas sangat menguntungkan dan juga sangat keren menurut mereka tentunya. Bukanlah sebuah hal yang mengherankan memang  bila kita akan kesulitan menemukan para pemuda yang memiliki dedikasi tinggi pada bidang pertanian, terlebih lagi yang memiliki impian mewujudkan ketahanan pangan Indonesia yang sesungguhnya, atau bahkan ingin membuat negeri ini menjadi rajanya pangan dunia, menjadi maharaja agraris.
Kenyataan yang ada sekarang ini, kebanyakan generasi muda takut berpanas-panasan, kurang peka, dan bahkan sama sekali tidak peduli terhadap pertanian negeri ini. Hal ini terjadi karena pola pikir sempit mereka, yang mereka pikirkan dan bayangkan adalah kotor, becek, dan miskin. Sesungguhnya pertanian itu memiliki cakupan bidang yang sangat luas. Bila mengutip pernyataan bapak Andi hakim Nasoetion, pertanian bukan hanya tentang kegiatan yang menyangkut padi dan sawah, tetapi semua kegiatan yang membutuhkan sinar matahari seperti peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain. Tetapi apakah mereka tidak berpikir, tanpa adanya pertanian khususnya di bidang pangan apa yang akan mereka makan? Apakah mereka akan makan besi, baja, atau bahkan beton- beton perkotaan?. Tentu saja tidak, kita bukan manusia super atau makhluk asing. Kita tetap manusia yang menjadikan karbohidrat yang tentunya berasal dari produk pertanian sebagai sumber tenaga utama dalam aktivitas sehari-hari.
Tuhan Yang Maha Esa selalu menciptakan segala sesuatunya dengan adil. Seperti sebuah koin Yang memiliki dua sisi, Bila ada generasi muda yang kurang peka terhadap pertanian, ada juga para pahlawan pertanian bangsa dengan bidang pertanian dan cara yang beragam bersatu dalam sebuah tujuan pergerakan yang sama, membangun dan menjadikan pertanian Indonesia yang lebih baik lagi. Para pahlawan tersebut pada umumnya memiliki latar belakang keluarga yang bergerak di bidang pertanian, tetapi tidak sedikit juga diantara mereka yang sama sekali tidak memiliki latar belakang keluarga yang bergerak di bidang pertanian. Mereka adalah para idealis, yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak dibandingkan diri sendiri. Mereka adalah para pemuda yang tergerak hatinya karena melihat gagal panen, kelaparan, gizi buruk, bahkan kematian terjadi dimana-mana akibat masalah kekurangan pangan. Lalu kemudian akan muncul pertanyaan yang ditujukan kepada mereka seperti “apakah mereka siap mengorbankan masa depan mereka yang cerah untuk membangun pertanian negeri yang sangat menyedihkan ini? ”. Pertanyaan seperti ini sebenarnya termasuk sulit untuk dijawab karena kesanggupan menjawab tergantung pada seberapa besar semangat individu tersebut untuk turut serta dalam membangun pertanian dan seberapa dalam individu tersebut mengerti tentang pertanian yang ada di sekitarnya. Mengapa kita tidak mulai bertanya pada diri kita masing-masing “Kenapa kita sebagai generasi muda, sebagai sarjana dan calon sarjana masa depan tidak mulai berpikir seberapa besar kontribusi kita untuk bangsa ini dalam membentu membangun pertanian bangsa?”.
            Nasib pertanian Indonesia berada pada pundak para generasi muda bangsa Indonesia. Bapak bangsa ini, Ir. Soekarno pernah berkata “ Beri aku 1000 orang tua maka akan aku cabut Semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda maka akan aku guncangkan dunia ”. Beliau juga pernah berkata dalam pidato berjudul “ Soal Hidup atau mati ” bahwa pertanian adalah soal hidup atau mati. Maksud beliau tentumya sudah jelas, kunci pertanian adalah pembangunan pertanian yang dilakukan oleh para pemuda bangsa. Akan tetapi dalam perjalanannya, ditemui batu sandungan berupa pola pikir yang keliru tentang pertanian. Selama batu sandungan bernama pola pikir yang keliru ini masih ada, sampai kiamat sekalipun negeri ini tidak akan pernah berubah, terus dan terus menjadi Negara nomor satu, nomor satu dalam prestasi mengimpor produk pertanian. Bukankah ini menyedihkan? Bila diibaratkan, kita seperti orang yang mati karena kelaparan di gudang makanan kaleng. Padahal pembuka kalengnya ada, tetapi kita tidak tahu cara menggunakannya untuk membuka kaleng.
            Pemuda Indonesia sekarang ini telah terikat pada pola pikir yang sangat dipengaruhi gengsi perkotaan. Seperti yang saya uraikan sebelumnya, mereka tidak memilki kebanggaan terhadap pertanian karena menurut mereka kurang keren dan mencerminkan kehidupan kaum melarat. Padahal itu salah besar! lihatlah Jepang dan Australia, pertanian mereka modern bukan? petani-petani mereka tidak kelihatan seperti kaum melarat bukan?. Apakah kita ingin menjadikan teknologi sebagai pembanding antara negara asing dan Negara kita? Atau bahkan, kita ingin menjadikan perubahan lingkungan sebagai alasan untuk tetap diam?. Para petani di negara asing mayoritasnya adalah sarjana sangat berbeda dengan para petani kita yang mayoritasnya tidak lulus sekolah dasar. Penyebab perbedaan status antara kedua petani bukan karena sedikitnya sarjana pertanian di Indonesia, akan tetapi hanya sedikit sarjana pertanian kita yang mau ikut membangun pertanian. Mereka lebih nyaman bekerja di kantor. Tetapi kita tidak bisa memaksa mereka untuk bekerja di bidang pertanian karena memilih pekerjaan adalah hak setiap individu. Hal yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi pilihan mereka adalah dengan meluruskan pola pikir dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran mereka, para pemuda dalam pembangunan pertanian yang lebih baik.
            Berhasil tidaknya pembangunan pertanian di Indonesia tidak hanya menjadi tanggung jawab sarjana pertanian. Mengapa demikian? Coba bayangkan pertanian sebagai sebuah tanaman yang berfotosintesis. Tanaman membutuhkan mineral dari dalam tanah, air, dan karbondioksida kemudian diproses menggunakan klorofil dibantu sinar matahari dan akhirnya menghasilkan gula dan uap air. Bagaimana jika salah satu komponen dalam proses fotosintesis tidak ada? Maka proses tersebut kurang efektif atau bahkan gagal. Begitu juga pertanian, Setiap tahunnya Indonesia memiliki sarjana-sarjana baru dengan bidang keahlian yang bervariasi mulai dari sarjana pertanian, ekonomi, teknik, teknologi dan masih banyak lagi sarjana-sarjana lainnya. Seperti halnya proses fotosintesis pada tanaman, pertanian juga demikian. Untuk mencapai tujuan pertanian yang diinginkan seperti swasembada pangan yang sesungguhnya, kita tidak bisa mengandalkan keahlian sarjana pertanian saja, Keahlian lain seperti teknologi yang dimiliki sarjana teknologi adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk intensifikasi produksi pertanian. Selain itu juga peran para ahlinya bidang pemasaran produk pertanian sangat dibutuhkan untuk memberi keadilan harga kepada para petani. Sesungguhnya tidak hanya para sarjana yang saya uraikan diatas saja yang memiliki peran penting. Semua sarjana, calon sarjana maupun generasi muda yang tidak ataupun belum melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri memiliki peran penting masing-masing dan bisa dikatakan, kunci pembangunan pertanian itu dimiliki oleh setiap generasi muda dalam bentuk puzzle dan harus digabungkan untuk membuka gerbang bernama “pertanian masa depan”.
            Menggabungkan puzzle pembangunan pertanian memang bukan perkara mudah, namun bukanlah sesuatu yang mustahil. Kita dapat memulainya dari obrolan ringan sesama teman untuk menyatukan visi bila belum bisa mengajak mereka turun langsung ke lapang. Kemudian mulailah menunjukkan fakta-fakta pertanian negeri ini khususnya betapa menderitanya nasib para petani yang harus segera kita bantu. Saya yakin selama mereka adalah makhluk yang memiliki hati nurani bernama manusia pasti akan tergerak hatinya, meskipun untuk tergerak setiap orang punya lama waktu yang berbeda-beda. Setelah mereka tergerak mulailah turun ke lapang dan bantu para petani. Tahap ini sebenarnya tidak sesulit tahap menyadarkan orang lain, akan tetapi di tahap inilah keahlian dan pengetahuan kita diuji. Apa yang akan kita tanam? bagaimana cara kita menanam? Kapan kita menanam? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.
            Indonesia memiliki kondisi tanah, iklim, cuaca serta kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda tetapi hal tersebut bukanlah sebuah alasan untuk mempersulit pembangunan pertanian di negeri ini. Hal yang perlu dilakukan adalah mencermati keadaan lingkungan yang ada dan beradaptasi dalam menaman, memelihara, menjaga dan akhirnya memproduksi dan menjual hasil pertanian. Kita tidak mungkin menggunakan jaket berlapis-lapis di daerah panas bukan? atau lebih gila lagi, bertelanjang dada di kutub utara. Pertanian dapat dianalogikan seperti itu. Kita memiliki banyak varietas tanaman yang memiliki keunggulan masing-masing di lingkungan yang berbeda-beda. Coba saja menanam padi di pulau Biak yang tanahnya berbatu, tipis, dan sebagian besar tersusun atas batuan kapur ditambah lagi cuaca yang tidak menentu. Maka yang akan terjadi adalah kegagalan total. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang karateristik tanaman, tanah serta cuaca sangat dibutuhkan dan yang ahli dalam bidang tersebut tentunya bukan hanya ahli di bidang pertanian saja.
Para ahli muda pertanian dibutuhkan untuk meluruskan pandangan para petani dan “mengobati” penyakit latah petani. Penyakit latah petani yang saya maksudkan adalah kebiasaan mereka meniru keberhasilan petani di tempat lain yang belum tentu kondisi lingkungannya sama. Sebenarnya meniru itu bukanlah sesuatu yang salah, asal bukan hanya sekedar meniru cara mengolah tanah, varietas yang ditanam, dan cara merawatnya tetapi memahami apa yang dilakukan petani yang berhasil serta memahami kondisi lingkungan sendiri. Kemampuan beradaptasi terhadap kondisi yang ada, semangat untuk tetap bertahan dan berkarya, itu yang diperlukan. Seperti yang telah saya uraikan sebelumya, pertanian itu tidak hanya tentang padi dan sawah. Bagi yang memiliki kemampuan lebih di bidang lain, misalnya peternakan sebaiknya fokus mengembangkan bidang peternakan, jangan ikut-ikutan latah dengan memaksakan diri di bidang pertanian lain. Membantu memang sah-sah saja, tetapi prioritas utama adalah bidang keahlian kita sendiri.
            Cara terakhir yang masuk akal untuk merubah paradigma generasi muda adalah dengan memasukkan unsur masyarakat dalam kegiatan pendidikannya. Maksud saya adalah kegiatan praktikum yang diadakan langsung di lingkungan masyarakat, meminimalkan kegiatan praktikum di kampus ataupun sekolah agar tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya yaitu membantu masyarakat lebih tepat arah. Saya yakin, walaupun pada awalnya mahasiswa ataupun pelajar tidak mau tetapi karena adanya ancaman bahwa nilai mereka tidak akan maksimal bila tidak dapat melakukan praktikum dengan baik. Seiring berjalannya waktu, kesadaran mereka akan terbangun dengan sendirinya dan dapat menjadi bagian dari pembangunan pertanian, membantu para petani tanpa pamrih.
            Pada akhirnya, mau tidak mau nasib pertanian bangsa ada di tangan para generasi muda, semakin cepat paradigma tentang pertanian yang identik dengan kotor, kemiskinan, dan kurang keren pada pikiran mereka berubah, semakin cepat pula pembangunan pertanian di Indonesia dapat terwujud. Semoga para generasi muda dapat menanamkan kepercayaan pada diri mereka bahwa kekayaan yang sesungguhnya bukan dari seberapa banyak harta yang dapat dikumpulkan, tetapi seberapa banyak kita dapat bermanfaat bagi orang lain karena masih banyak para petani yang membutuhkan bantuan para ahli-ahli pertanian masa depan. Dukungan dari semua pihak dukungan dari semua bidang keilmuan sangat dibutuhkan, entah itu teknik, informatika, ekonomi, hukum, dan lain-lain sangat dibutuhkan seperti analogi proses fotosintesis pada tanaman yang telah saya singgung pada paragraf sebelumnya. Satu hal yang tidak kalah penting adalah dukungan penuh dari pemerintah dalam memfasilitasi para pemegang kunci pertanian masa depan seperti pelatihan, penyediaan lahan belajar, penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih baik di bidang pertanian, dan lain-lain. Semoga pertanian Indonesia semakin berjaya!

Rabu, 25 September 2013

Sebuah Cerita dari Timur Indonesia



Namaku Abdul Aris Pradana, orang biasa memanggilku Aris, seorang mahasiswa departemen Proteksi Tanaman, fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor angkatan 49. Aku berasal dari Biak, sebuah pulau di kepulauan ujung timur Indonesia, Papua. Sebuah tempat yang dijuluki surga dunia karena keindahan alam dan budayanya serta kearifan warga lokal. Kebanyakan orang berfikir bahwa tempat aku lahir, tumbuh dan dibesarkan ayah dan bunda ini masih primitif. Sifat dan kelakuan tidak bersahabat, itulah yang mereka pikirkan tentang masyarakat di tempatku. Itu salah besar, orang-orang Papua itu ramah kepada siapa saja. Senyum tulus, suka tolong menolong, saling peduli satu sama lain, itulah yang aku pelajari dan pahami dari tanah kelahiranku Biak, Papua. Meski di tubuhku tidak mengalir darah Papua karena bapakku adalah suku Bugis dan ibuku suku jawa, tapi aku tidak akan ragu ataupun malu untuk mengakui diri sebagai orang Papua. Rambutku mungkin tidak keriting, kulitku mungkin tidak hitam, tapi hatiku Papua. Aku telah berada di tanah Papua dari lahir hingga lulus Sekolah Menengah Atas di Biak, Papua. TK Pertiwi IV Manokwari, SDN II Manokwari, SDN I Biak Kota, SMPN I Biak Kota, dan SMAN I Biak Kota, adalah tempat-tempat hebat dimana aku menimba ilmu dan tanpanya aku tidak akan bisa seperti sekarang ini, menjadi mahasiswa departemen Proteksi Tanaman, fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sebuah cita-cita besarku yang akhirnya terwujud.
Menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, bagiku dulu itu hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan terwujud. Bagiku yang berasal dari sebuah tempat yang bagi kebanyakan orang masih asing, keinginan itu rasanya sangat berat. Banyak siswa-siswa hebat diluar sana yang menurutku pasti lebih hebat dariku yang ingin menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Aku sempat merasa putus asa, ingin mengubur dalam-dalam impianku karena saat itu, waktu penerimaan raport semester II kelas XI SMA peringkatku turun drastis, yang awalnya peringkat III kelas menjadi peringkat XI.  Rasanya saat itu duniaku runtuh, harapanku, harapan orang tuaku, semuanya sirna. Sebagai seorang anak aku merasa bahwa telah mengecewakan mereka. Setelah lama terpuruk dalam rasa bersalah, tiba-tiba semangatku yang telah redup seakan-akan mulai menyala kembali. Hal itu terjadi saat guru Kimiaku yang juga alumni IPB, bu Alifia berkata “tidak ada yang tidak mungkin, dengan kemampuan yang kamu miliki, kamu pasti bisa Aris!”. Satu kalimat lagi yang menjadi motivasiku adalah perkataan bu Helen, guru Biologi SMAku. Beliau berkata “ kalau kamu tidak mau berkembang, kuliah sajalah di dekat rumahmu”. Meskipun sederhana, tapi bagiku kalimat itu berarti banyak. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa, aku pasti bisa menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor.
 Masih segar dalam ingatanku, di sabtu yang panas dimana diumumkan 50 siswa terbaik sekolah yang berhak mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2012. Seluruh siswa berkumpul. Beragam ekspresi terlihat dari wajah mereka, ada yang harap-harap cemas, ada yang berusaha bercanda, tapi diantara mereka ada juga yang tampak santai. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa senangnya perasaanku hari itu. Aku termasuk 50 siswa terbaik, walaupun hanya peringkat 33. Jalan menuju impian untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian telah terbuka lebar untukku, tidak ada keraguan bagiku untuk memilih Institut Pertanian Bogor sebagai perguruan tinggi negeri pilihan pertamaku, departemen pilihan pertamaku adalah Proteksi Tanaman, yang kedua adalah Agronomi dan Hortikultura. Untuk menghormati tanah kelahiranku, aku memilih Universitas Negeri Papua sebagai pilihan kedua dengan agroteknologi sebagai departemen pilihan pertama dan Biologi sebagai departemen pilihan kedua.
. Meskipun banyak teman yang mencemooh pilihanku karena bagi mereka pertanian itu identik dengan kemiskinan, cangkul, dan tanah aku tidak peduli, aku telah menetapkan pilihan. “Aris, ngapain kamu memilih Institut Pertanian Bogor, fakultas pertanian lagi, mau jadi petani? Kamu itu harusnya jadi arsitek, bakat kamu sia-sia jadinya”, itu adalah satu perkataan dari banyak perkataan yang keluar dari mulut sahabat, teman-teman, serta guru-guruku. Bagiku, perkataan mereka adalah pemicu semangat. Satu tekad lagi yang ku tanamkan dalam hati, akan aku buktikan bahwa mereka bahwa pandangan mereka itu salah, tidak selamanya pertanian itu identic dengan kemiskinan. Aku akan menjadi petani berdasi di masa depan. Alasan mendasar departemen Proteksi Tanaman menjadi pilihan departemen pertamaku adalah rasa prihatin terhadap pertanian yang ada sekarang ini, serangan hama terjadi dimana-mana dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Kata orang negeri ini tanah surga, tongkat batu dilempar jadi tanaman. Seharusnya itu benar, dengan sumber daya alam yang ada seharusnya kita mampu mengatasi masalah pertanian, seharusnya tidak ada bencana kelaparan, seharusnya kita tidak perlu mengimpor beras dari Negara asing. Tapi kenyataanya sangat pahit, kelaparan dimana-mana, gagal panen besar-besaran, kegiatan impor beras tidak kunjung berakhir. Aku akan merubah itu semua! Tidak akan aku biarkan pertanian negeri ini semakin buruk. Mungkin bagi orang lain semangatku ini hanyalah khayalan belaka, tapi aku tidak peduli. Akan aku buktikan pada mereka yang mencemoohku, akan aku buktikan pada mereka yang menganggapku hanyalah seorang pengkhayal, akan aku buktikan bahwa aku bisa, aku pasti bisa memperbaiki pertanian negeri ini, walaupun aku tahu bahwa itu tidak mudah. Tapi aku yakin, pada saatnya nanti aku akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki keinginan dan tekad yang sama denganku, dan bersama kami akan rubah pertanian negeri ini!.
Hari pengumuman kelulusan SMA, sebuah hari yang sangat pendek bagiku. Hari dimana semua akan berpisah, hari dimana masa depanku serta teman-temanku ditentukan. Meskipun kelulusan di sekolahku 100%, tetapi hari itu semuanya tidak kuasa untuk menahan tangisnya, tangis haru, tangis perpisahan, tangis karena masa tiga tahun bersama akan berakhir. Aku juga hanya seorang manusia biasa yang tidak mampu menahan kesedihan itu. Terlebih lagi saat itu aku mendapat satu dari tiga undangan langsung dari pihak rektorat Universitas Negeri Papua. Aku tidak tahu apa yang kurasa, antara bangga dan sedih. Bangga karena menjadi tiga orang terpilih dan sedih karena akan berpisah dari sahabat dan teman-temanku. Kami menghabiskan hari itu dengan semua hal yang kami anggap dapat menjadi kenang-kenangan yang akan terus membekas di hati dan ingatan masing-masing.
 Pagi berganti siang, dan siang telah berganti malam. Malam di hari kelulusan itu adalah malam paling bersejarah dalam hidupku. Seorang teman memberitahuku bahwa telah ada pengumuman perserta SNMPTN Undangan yang lulus seleksi. Secepat kilat langsung ku buka situs SNMPTN, ini seperti mimpi! Itu yang aku rasakan. Aku lolos SNMPTN Undangan dan menjadi calon mahasiswa departemen Proteksi Tanaman fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tampak kegembiraan dan kebanggaan pada wajah kedua orang tuaku saat aku katakan bahwa aku lolos seleksi. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku untuk kuliah di Universitas Negeri Papua, bukan di Institut Pertanian Bogor. Saat itu pertimbanganku adalah soal biaya, karena aku adalah anak pertama dari empat bersaudara dan semuanya masih sekolah, ayahku hanyalah seorang Pegawai Negeri Sipil berpangkat IIIB. Menurutku pasti gaji ayahku tidak akan cukup untuk membiayai kuliahku di kota besar seperti Bogor. Ayah dan ibuku tampaknya sedikit kecewa dengan pemikiranku, mereka bertanya dimana kebanggaan, semangat, dan impian yang selama ini ada pada diriku. Aku dengan berat hati menjawab bahwa sebagai anak pertama, rasanya aku tidak sanggup bila harus melihat keluargaku menderita, terlebih lagi aku tidak mendapatkan beasiswa apapun. Mereka berkata, “ jangan kau fikirkan masalah dana, kuliahlah yang sungguh-sungguh, bapak, ibu, dan adik-adik bangga kok kamu bisa melanjutkan kuliah di IPB, kamu itu sudah mengangkat derajat keluarga. Masalah dana tidak usah kamu pikirkan, pasti ada jalan bagi bapak dan ibu untuk menyekolahkan kamu dan adik-adikmu. Pada saat kamu sukses nanti, giliran kamu menyekolahkan adik-adikmu. Optimis saja ya nak”. Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, pikiranku terasa penuh, aku di selimuti kebimbangan yang belum pernah aku rasakan seumur hidup. Ibuku sepertinga tahu bahwa aku masih bimbang, beliau terus-menerus menasehatiku dan akhirnya tekadku kembali bulat. Aku akan menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor!.
Hari keberangkatan menuju Bogor akhirnya tiba, hari itu harus aku tinggalkan keluarga, sahabat, teman, semua aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan di kampung halamanku. Keluargaku melepas kepergian sementaraku ini di bandara Frans Kaisepo Biak. Adik-adikku yang biasanya tampak ceria tidak mampu menahan kesedihannya, ayah dan ibuku tampak tegar, mereka tersenyum dan berkata “ selamat belajar nak, buat keluargamu bangga. Kami yakin kamu pasti bisa”. Mendengar perkataan itu aku semakin tidak mampu menahan air mata yang akan jatuh, namun aku tidak ingin terlihat lemah di mata adik-adikku meskipun ayah dan ibuku tahu bahwa sebenarnya saat itu aku ingin menangis. Bersama pesawat yang ku tumpangi, aku pergi untuk sementara demi cita-cita dan impianku. Bogor, aku datang!.
Hari pendaftaran ulang peserta SNMPTN Undangan yang lolos seleksi, hari dimana aku merasa asing dengan semuanya. Mungkin karena baru kali ini aku berada pada lingkungan yang tidak aku kenal. Seluruh siswa dari berbagai tempat di Indonesia berkumpul di sini, di Institut pertanian Bogor. Aku merasa canggung untuk berteman dengan calon mahasiswa yang lain meskipun di Biak aku telah berteman dengan orang-orang dari berbagai suku di Indonesia. Menurutku pasti aku kalah gaul dari mereka, mana ada yang mau berteman dengan orang yang berasal dari tempat yang jarang dan bahkan tidak pernah mereka dengar. Tapi semuanya salah, mereka sangat ramah dan tidak memandang dari mana aku berasal. Satu hal yang membuat aku merasa senang di hari itu adalah aku dapat bertemu kembali dengan seorang teman lama semasa SMP. Namanya Hasan, seorang calon mahasiswa departemen Fisika fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Kami saling bertukar cerita dan pengalaman semasa SMA sembari menunggu saat pemanggilan pengecekan dokumen awal. Setelah itu kami di kenalkan kepada lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Tidak ada kata lain selain kata kagum yang dapat terucap saat melihat bangunan, fasilitas, serta prestasi yang diraih IPB.
Tanggal 26 juni 2012, aku langkahkan kaki untuk pertama kali kedalam arsama C2 TPB.  Aku mendapat kamar 198 di lorong 8. Sepertinya aku bukan orang pertama dikamar itu. Orang pertama di kamar 198 adalah Achmad Alfiyan, seorang mahasiswa departemen Biologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam asal Pare, Jawa Timur. Hari itu kami membersihkan kamar bersama-sama tetapi jarang berbicara karena sama-sama merasa canggung dalam berbahasa. Hari kedua kami mendapatkan tambahan satu teman lagi, Ghozy Al-Marsus, seorang mahasiswa departemen Kimia fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam asal depok, seorang yang agamis. Teman sekamarku yang terakhir adalah M. Reyhan, seorang mahasiswa departemen Teknologi Hasil Perairan fakultas Perikanan. Saat kami soga lorong pertama, semua tampak terkejut dan tidak percaya saat aku berkata bahwa aku berasal dari Papua. Itu sudah dapat kumaklumi, karena dari sekian banyak orang yang berkenalan denganku, sebagian besar tidak percaya bahwa aku ini orang Papua. Aku tidak tahu tepatnya hari apa, tapi hari itu adalah saat pengecekan berkas. Pengalaman tidak terlupakan terjadi hari itu, aku ditegur dosen yang memeriksa berkas karena pakaianku dianggap kurang sopan,saat itu aku memakai kaos berkerah berwarna hitam dengan hiasan-hiasan yang lumayan besar. Aku minta maaf pada beliau karena tidak ada maksud untuk tidak sopan, tapi karena kebiasaanku seperti itu. Untungnya beliau memaafkanku dan memintaku untuk berjanji agar berpakaian lebih sopan, beliau juga berpesan agar tetap semangat dan bersungguh-sungguh ketika kuliah nanti karena biasanya mahasiswa dari timur kurang mampu beradaptasi dengan baik dalam hal akademik.
Semua mahasiswa yang lulus SNMPTN undangan memiliki hak untuk mengikuti program Matrikulasi yang terbagi atas Landasan Matematika dan Fisika. Mendengar kata matematika dan fisika bagiku  itu lebih menyakitkan dari pada mendengar konser music heavy metal melalui sound systemnya. Tapi mau tidak mau harus di jalani. Aku mendapat banyak kenalan teman-teman baru di hari pertama kuliah matrikulasi. Namun ada satu hal yang membuatku sedikit bersedih di hari pertama kuliahku, aku kehilangan hand phone yang sangat ku sayangi, benda yang sangat berarti bagiku, benda yang ku dapat dari jerih payahku sendiri. Apa boleh buat, semuanya telah terjadi. Mungkin ini sebuah teguran agar aku lebih disiplin dan berhati-hati dalam menyimpan barang. Hari pertama kuliah masih dpat ku mengerti materi yang disampaikan, tetapi aku mulai pesimis saat kulah ketiga dan seterusnya. Rasannya aku ingin menyerah, rasanya aku ingin pulang saja, semuanya sangat berat disini. Rasa putus asa itu berlanjut hingga Ujian Tengah semester, nilaiku jauh dari kata memuaskan. Berulang kali aku cari cara untuk membangun kembali semangat, tapi sia-sia. Ayah dan ibuku tidak henti-hentinya memberikan semangat, tapi untuk kali ini semuanya tidak berhasil. Apa mungkin karena aku jauh dari mereka? Aku tidak tahu. Ujian Akhir Semesterpun tiba, aku mendapat hasil yang lebih buruk dari sebelumnya dan nilai mutu akhirku adalah BC.
BC, sebuah nilai yang bagiku pasti akan menyakiti kebanggaan orang tuaku, sebuah nilai yang tidak dapat dibanggakan. Hari itu rasanya aku benar-benar ingin menyerah, melihat teman-temanku yang rata-rata mendapat nilai A. Bayang-bayang tentang Drop Out (DO) tidak mau hilang dari pikiranku. Dengan rasa malu ku hubungi kedua orang tuaku, aku curahkan seluruh keluh kesah yang dapat aku sampaikan kepada mereka. Tangis, sedih, kecewa terhadap diri sendiri, hanya itu yang ku punya. Satu kalimat penyemangat hati yang tekah pudar keluar dari mulut ayahku, beliau berkata “ ka Ais, ini baru permulaan, kamu masih punya kesempatan di mata kuliah lain. Orang gagal itu biasa, tapi orang yang bangkit dari kegagalan itu luar biasa. Mereka yang gagal itu adalah mereka yang berhenti berfikir bahwa mereka akan berhasil. Bapak yakin kamu bisa dapat IPK yang bagus, bapak ingin kamu lanjut ke S2 setelah lulus”. Aku hanya bisa menangis saat mendengar kata itu, rasanya seperti aku selama ini menyianyiakan kepercayaan mereka. Teman-temanku juga tidak henti-hentinya menyemangatiku. Papar, panggilah akrab Achmad Alfiyan, teman sekamarku berkata “ IP itu tidak untuk dikejar, kalau kita bersungguh-sungguh, maka IP yang akan mengejar kita”. Dengan semua dorongan itu, aku harus bangkit! aku pasti bisa!. Satu semesterpun berlalu, Indeks Prestasi pertamaku akhirnya keluar. aku bersyukur dan bangga mendapat IP 3,08. Mungkin bagi orang lain IP seperti itu biasa, tetapi bagiku, itu adalah salah satu pencapaikan terbesar dalam hidupku.
Kehidupan sehari-hari di asrama C2 TPB IPB penuh dengan manis-pahitnya kehidupan. Banyak suka-duka yang kami laiui bersama, antri untuk mandi, saling berebut kursi mobil listrik, tunggu bis bersama, semuanya sangat berkesan bagiku. Aku juga bisa banyak mengambil pembelajaran sebagai insan asrama C2 TPB IPB, belajar toleransi umat beragama, belajar menghargai teman yang beda suku, belajar saling memahami teman tentang kebiasaan mereka. Salah satu hal yang mungkin lumayan sulit dilakukan adalah saling mengalah akibat cara belajar yang berbeda-beda dimana teman yang satu suka belajar tanpa musik dan yang satunya lagi suka belajar dengan musik yang sangat keras, ada yang suka belajar sendiri dan ada yang suka belajar berkelompok. Seiring dengan berjalannya waktu, kami belajar untuk memecahkan masalah tersebut. Teman-teman yang suka belajar tenang dan menyendiri biasanya mencari tempat belajar di masjid Al-Huriyyah IPB Dramaga maupun di kamar-kamar yang sedang tidak digunakan.
Kehidupanku di Institut Pertanian Bogor juga penuh dengan manis-pahitnya hidup. Awal-awal semester ganjil adalah saat-saat dimana kelompok-kelompok dan organisasi membuka open recruitment anggota baru. Sebagai mahasiswa yang tertarik akan kegiatan-kegiatan inovatif serta dapat menambah banyak teman, aku mengikuti pendaftaran tersebut. Namun sayang, hamper semuanya berakhir di tahap wawancara, mungkin kemampuanku belum cukup. Aku tidak berkecil hati, sudahlah mungkin ini yang terbaik untukku, mungkin aku harus banyak belajar mengolah diri. Setidaknya aku di terima klub asrama garden and Decoration Club atau yang lebih dikenal dengan nama Greda-C. Greda-C adalah klub asrama yang didedikasikan untuk pengolahan dan dekorasi taman, termasuk kegiatan tanam-menanam sayur dan bunga, perawatan, hingga pemasarannya. Seiring berjalannya waktu, aku terpilih menjadi ketua Greda-C. terlintas dalam pikiranku, seorang dari jauh, apakah bisa memimpin orang-orang kota?.
 Menjadi seorang pemimpin mengajarkanku tentang bagaimana menekan keegoisan, belajar bertanggung jawab, belajar memaafkan saat anggota berbuat kesalahan, serta belajar mengatur waktu dengan baik. Tetapi, sekuat-kuatnya seorang pemimpin, pasti pernah merasa jenuh, begitupula diriku. Seperti yang sudah kutuliskan sebelumnya, menjadi pemimpin itu tentang belajar menjadi pribadi yang lebih baik kawan. Terkadang apa yang kau harapkan, apa yang kau rencanakan  jauh dari kenyataan, merasa kecewa oleh orang yang kamu percayai, menjadi pihak yang paling bersalah saat organisasi yang diamanahi padamu kurang bagus di mata orang lain, tapi itu hal biasa tergantung cara kita menyikapinya. Berfikir bahwa semua itu adalah sebuah kegagalan, atau keberhasilan yang tertunda.
Aku masih harus banyak belajar untuk jadi pribadi yang baik dan menjadi pemimpin yang baik. Tidak hanya baik pada diri sendiri tapi baik dan bermanfaat bagi orang banyak. Kita semua juga pasti akan belajar untuk tujuan yang sama, menjadi pribadi yang lebih baik. Keberhasilah seseorang menjadi orang yang lebih baik tidak hanya dilihat pada hasil yang dia capai, tetapi bagaimana cara dia mencapainya. Kehidupan tidak akan pernah berhenti memberi seribu alasan bagi kita untuk menyerah, tapi bangkitlah dengan jutaan, bahkan alasan tak terhingga untuk tetap berjuang!. Yakinlah pada Tuhan Yang maha Esa bahwa Dia tidak akan menutup mata bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.