DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Karet
alam merupakan komoditas ekspor yang memberikan kontribusi besar dalam upaya
peningkatan devisa negara. Indonesia sebagai produsen karet alam nomor dua di
dunia memiliki luas lahan perkebunan karet yang lebih besar daripada Negara
Thailand yang menduduki peringkat pertama dalam produksi karet. Hal ini
menunjukkan bahwa produktivitas karet alamdi Indonesia masih rendah.
Produk-tivitas karet alam yang rendah ini disebabkan oleh ketidakstabilan harga
karet alam di Indonesia, sehingga membuat petani karet enggan menyadap lateks
karena sering mengalami kerugian.
Karet adalah polimer hidrokarbon
yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai lateks) yang diperoleh
dari getah beberapa jenis tumbuhan pohon karet tetapi dapat juga diproduksi
secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk
menciptakan karet adalah pohon karet Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae).
Ini dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respons
yang menghasilkan lebih banyak lateks lagi.
Pembangunan sektor pertanian saat
ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan
produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Pertanian yang
ingin diwujudkan adalah pertanian yang maju, efisien, dan tangguh sehingga
mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan mutu dan derajat
pengolahan produksi serta menunjang pembangunan wilayah. Melalui perdagangan,
hasil-hasil produksi pertanian dapat diserap oleh pasar baik domestik maupun
internasional. Secara khusus perdagangan internasional dapat meningkatkan
pemberdayaan sumberdaya domestik di suatu negara, sebagai sarana pelepasan atau
penyaluran surplus bagi komoditi-komoditi pertanian dan sebagai sumber devisa
utama yang pada akhirnya diharapkan memberikan sumbangan kepada pertumbuhan
ekonomi.
Karet sebagai salah satu komoditas
unggulan nasional memberikan sumbangan yang cukup besar bagi devisa negara dan
memiliki prospek ekonomi yang cukup baik karena mampu bertahan selama masa
krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dalam
konteks perkembangan ekspor dunia terlihat bahwa pada periode tahun 1994-1998
ekspor karet dunia mengalami pertumbuhan sebesar 0.29 persen per tahun. Laju
permintaan dunia adalah sebesar 2.5 persen per tahun sedangkan laju penawaran
hanya 0.2 persen per tahun. Sedangkan jumlah ekspor karet alam dari Indonesia
cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun pada periode 1998-2002, namun secara
umum mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 13.14 persen per tahun. Hal ini
menunjukkan 2 peluang pasar bagi ekspor komoditas karet Indonesia masih
terbuka. Perhatian yang ditujukan dalam upaya merespon peluang pasar karet alam
ini tidak hanya dalam bentuk peningkatan produksi tetapi juga harus
memperhatikan sisi perdagangan (Deperindag 2004).
Thailand memegang peranan penting
dalam perdagangan karet pada akhir tahun 1980-an disaat Malaysia mengalami
stagnasi produksi. Pada tahun 1969 pangsa ekspor karet Thailand baru mencapai
sekitar 9.57 persen dari ekspor karet dunia namun pada tahun 1998 pangsa
ekspornya tumbuh menjadi 40.78 persen. Pada periode yang sama, pangsa ekspor
karet Indonesia adalah 22.8 persen dan 36.39 persen. Sementara itu pangsa
ekspor Malaysia turun dari 44.81 persen pada tahun 1969 menjadi 9.45 persen
pada tahun 1998. Namun produksi karet di ketiga negara tersebut terus
meningkat. Pada periode 2001-2003, produksi karet alam Thailand mengalami
peningkatan sebesar 9.15 persen dari 2 350 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 2
565 ribu ton di tahun 2003, produksi karet alam Indonesia meningkat sebesar
8.96 persen dari 1 540 ribu ton menjadi 1 678 ribu ton. Sedangkan Malaysia
mengalami peningkatan produksi sebesar 18.72 persen. Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris secara tradisional merupakan
Negara pengimpor utama karet alam. Pada tahun 1969 ketiga negara mengimpor
sekitar 37.10 persen dari impor karet alam dunia. Pada tahun 1998 pangsa impor
ketiga negara mengalami peningkatan menjadi 42.16 persen. Perubahan pangsa impor
ketiga negara tersebut terjadi karena adanya perluasan pasar ekspor oleh
Negara-negara produsen terutama Malaysia. Data Departemen Perindustrian dan
perdagangan menunjukkan bahwa impor karet alam Amerika Serikat pada periode
1998-2002 cenderung meningkat secara perlahan dengan tren sebesar 13.2 persen.
Sejalan dengan kenaikan impor, konsumsi karet alam juga mengalami peningkatan.
Hal yang sama terjadi untuk Jepang, namun hal tersebut tidak terjadi untuk
Inggris. Impor karet alam Inggris saat ini sedang dalam kecenderungan menurun.
Ketiga negara tersebut merupakan negara-negara pengimpor yang cukup penting
bagi Indonesia (Prabowo 2006)
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja hasil olahan dari komoditas
karet?
2.
Bagaimanakah pemanfaatan lahan di
Indonesia untuk perkebunan karet dan produktivitas karet di Indonesia?
3.
Bagaimanakah pengolahan karet di
Indonesia?
4.
Bagaimanakah produktivitas komoditas
karet di Indonesia?
5.
Apa saja kendala atau permasalahan dalam
budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia?
6.
Apa saja solusi dari permasalahan dalam
budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia?
1.3
Tujuan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui hasil olahan dari tanaman
karet
2.
Mengetahui pemanfaatan lahan di Indonesia
untuk perkebunan karet
3.
Mengetahui produktivitas karet di
Indonesia
4.
pengolahan karet di Indonesia
5.
Mengetahui kendala atau permasalahan
dalam budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia
6.
Mengetahui solusi dari permasalahan dalam
budidaya, pengolahan, dan pemasaran komoditas karet di Indonesia
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Tanaman Karet
Menurut Nazaruddin dan
Paimin (1998) klasifikasi
botani tanaman karet adalah sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Genus : Hevea
Spesies : Hevea braziliensis Muell. Arg.
2.2 Karet Sebagai
Penyumbang Devisa
Tanaman
karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup
penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki
prospek yang cerah. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktifitas usahatani
karet terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidayanya. Karet merupakan
komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan
devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus
menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3
juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004.
Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar,
yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas (Nazarrudin dan Paimi 2006).
Tabel 1. Volume dan Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir
Utama
Negara
|
Ekspor (000 ton)
|
Pertumbuhan Per
tahun (%)
|
||||||
1995
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
||
Thailand
|
1 636 (38.5)
|
1 763 (40.2)
|
1 837 (40.1)
|
1 839 (39.0)
|
1 886 (40.4)
|
2 166 (43.8)
|
2
042 (39.6)
|
3.96
|
Indonesia
|
1 324 (31.2)
|
1 434 (32.7)
|
1 404 (30.7)
|
1 641 (34.8)
|
1 495 (32.0)
|
1 379 (27.9)
|
1
453 (28.2)
|
1.97
|
Malaysia
|
1 013 (23.8)
|
980 (22.3)
|
1 018 (22.2)
|
989 (21.0)
|
984 (21.1)
|
978 (19.8)
|
821
(15.9)
|
-3.23
|
Vietnam
|
82 (1.9)
|
195 (4.4)
|
194 (4.2)
|
191 (4.1)
|
230 (4.9)
|
269 (5.4)
|
293
(5.7)
|
30.34
|
Lainnya
|
195 (4.6)
|
18 (0.4)
|
127 (2.8)
|
50 (1.1)
|
75 (1.6)
|
148 (3.0)
|
551
(10.7)
|
145.63
|
Dunia
|
4 250
|
4 390
|
4 580
|
4 710
|
4 670
|
4 940
|
5 160
|
3.31
|
Tabel 2. Volume dan
Pangsa Ekspor Karet Alam dari Negara Eksportir Utama
Sumber : International Rubber
Study Group, 2003 dan Ditjenbun, 2005.
Keterangan : Angka
dalam kurung (..) merupakan pangsa.
2.3
Tarif Ekspor
Definisi dari
pajak atau tarif ekspor adalah pajak untuk semua komoditi yang diekspor. Hanya
ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai
negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan eksportir
adalah negara besar dimana perubahan pada jumlah ekspor dapat mempengaruhi
harga dunia.
Tabel 2. Dampak
Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan
Eksportir
|
Importir
|
|
Surplus
konsumen
|
A
|
-(g+h+i+j)
|
Surplus
produsen
|
-(a+b+c+d)
|
g
|
Penerimaan
pemerintah
|
c+k
|
-
|
Net National Welfare
|
k-(b+d)
|
-(h+i+j)
|
Net World Welfare
|
-(b+d+h+j)=e+f
|
-(b+d+h+j)=e+f
|
Net World
Welfare -(b
+ d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
Tarif ekspor memberikan dampak
terhadap penurunan kesejahteraan nasional di negara importir sebesar daerah (h
+ i + j), sedangkan dampak tarif bagi kesejahteraan di negara eksportir sangat
tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran. Jika pada tingkat pajak
ekspor tertentu daerah (b + d) lebih besar dari pada k, maka kesejahteraan
nasional bersih bagi eksportir akan memburuk. Pajak ekspor digunakan oleh suatu
negara biasanya adalah untukmelindungi konsumen domestik dari harga komoditas
ekspor yang tinggi dan untuk mendapatkan penerimaan bagi negara. Namun ternyata
dampak dari tarif ekspor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia
karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan
konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi (Prabowo 2006).
III. PEMBAHASAN
3.1 Hasil Olahan Komoditas Karet
Tanaman karet
merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan dengan optimal. Mulai dari
getah karet, biji karet, sampai dengan kayu karet dapat diolah untuk
meningkatka nilai tambah. Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat
dijual atau diperdagangkan oleh masyarakat berupa lateks segar, slab(koagulasi)
ataupun sit asap atau sit angin. Selajutnya produk tersebut sebagai bahan baku
pabrik Crumb Rubber/Karet Remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai
industri hilir seperti ban, sepatu karet, sarung tangan, dan lain sebagainya.
Hasil sampingan
dari pohon karet adalah kayu karet yang dapat berasal dari kegiatan
rehabilitasi kebun ataupun peremajaan kebun karet tua atau tidak menghasilkan
lateks lagi. Umumnya kayu karet yang diperjual belikan adalah dari peremajaan
kebun karet yang tua yang dikaitkan dengan penanaman karet baru lagi. Kayu
karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun
kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture).
Pemanfaatan kayu karet merupakan peluang baru untuk meningkatkan
margin keuntungan dalam industri karet. Pada saat ini tidak hanya getah karet
saja yang diminati oleh konsumen, tetapi kayu karet sebenarnya juga banyak
diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri, karena
warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di samping itu, kayu karet
juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi persyaratan ekolabeling
karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan kegunaan yang cukup
luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle board, parquet,
MDF (Medium Density Fibreboard) dan lain sebagainya (Deptan 2006). Oleh
karena itu, industri karet pada saat ini bukan hanya berorientasi untuk
produksi getah karet tetapi juga untuk produksi biji dan kayu karet.
3. 2 Pemanfaatan Lahan untuk Komoditas Karet di
Indonesia
Karet
merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya
peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir
terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi
1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004.Pendapatan devisa
dari komoditi ini padatahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5%
dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal perkebunan karet tahun 2005
tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karetmilik rakyat, dan hanya 7%
perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet
secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton (Anwar 2006).
Gapkindo memperkirakan
areal perkebunan karet di Indonesia pada 2010 seluas 3,445 juta ha dan
diperkirakan bertambah 5.000 ha pada 2011 (Sihotang, 2011). Saat ini luas areal
pertanaman karet di Sumatera Utara tahun 2010 adalah 463.851 ha dengan produksi
413.597 ton serta produktivitasnya 1.015 ton per ha. Untuk total luas areal
Indonesia adalah 3.445.121 ha dengan produksi 2.591.935 ton serta produktivitas
935 kg per ha (BPS, 2011).
Indonesia merupakan
negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia. Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia
mencapai 3,2 juta ha, disusul Thailand
(2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India (0,6 juta ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari
areal tersebut diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang
menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar
2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati
Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton),
dan Vietnam (0,4 juta ton). Dengan
luasan areal perkebunan karet yang ada diindonesia menunjukkan bahwa
pemanfaatan lahan areal perkebunan Indonesia saat ini masih belum optimal.
Dengan luasan areal terluas didunia, Indonesia masih belum bias menjadi negara
dengan produksi terbesar karet didunia.
3. 3 Produktivitas Karet di Indonesia
Menteri
Perindustrian Mohammad S Hidayat mengungkapkan produksi industri karet nasional
masih rendah. Padahal, Indonesia memiliki areal karet paling luas di dunia
yakni sebesar 3,4 juta hektar. Dalam hitungan per hektarnya, produktivitas
karet lokal masih kalah dibanding produksi di Malaysia dan Thailand. Produksi
dalam negeri hanya mencapai satu ton, kalah dengan Malaysia sudah memproduksi
1,3 ton per hektare, Thailand 1,9 ton per hektar.
Sektor industri karet menyerap tenaga kerja dan terkait langsung dengan industri kurang lebih sebanyak 2,1 juta orang. Sementara untuk yang tidak terkait langsung dengan industri karet tersebut telah menyerap tenaga kerja kurang lebih sebanyak 100 ribu orang. Dengan demikian, hal tersebut merupakan peluang bagi industri karet nasional untuk terus berproduksi maksimal. Meskipun demikian, masih ada tantangan berupa pembinaan terhadap perkebunan rakyat agar dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, perlu hilirisasi produk crumb rubber dan lateks untuk menjadi produk karet hilir yang bernilai tambah tinggi.
Industri karet dan barang karet di dalam negeri memiliki luas lahan perkebunan karet terluas di dunia dan berdasarkan Kebijakan Industri Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008, Industri karet dan plastik merupakan bagian dari kelompok industri yang diprioritaskan dalam pengembangannya. Pemerintah hingga saat ini dinilai masih abai dalam membangun industri hilir karet. Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand. Sayangnya, sekitar 85% produksi karet dalam negeri masih diekspor dalam bentuk karet mentah dan sisanya untuk konsumsi dalam negeri.
Sektor industri karet menyerap tenaga kerja dan terkait langsung dengan industri kurang lebih sebanyak 2,1 juta orang. Sementara untuk yang tidak terkait langsung dengan industri karet tersebut telah menyerap tenaga kerja kurang lebih sebanyak 100 ribu orang. Dengan demikian, hal tersebut merupakan peluang bagi industri karet nasional untuk terus berproduksi maksimal. Meskipun demikian, masih ada tantangan berupa pembinaan terhadap perkebunan rakyat agar dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, perlu hilirisasi produk crumb rubber dan lateks untuk menjadi produk karet hilir yang bernilai tambah tinggi.
Industri karet dan barang karet di dalam negeri memiliki luas lahan perkebunan karet terluas di dunia dan berdasarkan Kebijakan Industri Nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008, Industri karet dan plastik merupakan bagian dari kelompok industri yang diprioritaskan dalam pengembangannya. Pemerintah hingga saat ini dinilai masih abai dalam membangun industri hilir karet. Indonesia merupakan negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand. Sayangnya, sekitar 85% produksi karet dalam negeri masih diekspor dalam bentuk karet mentah dan sisanya untuk konsumsi dalam negeri.
Produktivitas karet
Indonesia masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan Thailand dalam
memproduksi karet setiap tahunnya. Akan tetapi, dengan memiliki tanah seluas
tiga juta hektar lahan, Indonesia hanya mampu memproduksi tiga juta ton karet
per tahunnya, sedangkan Thailand yang punya dua juta ha lahan bisa memproduksi
tiga juta ton lebih dalam setiap tahunnya. Produktivitas
tanaman karet di Indonesia masih sangat rendah, saat ini hanya mencapai 1.080
kg/ha. Nilai produktivitas tersebut masih jauh tertinggal di bawah India,
Thailand, Vietnam, Malaysia, Srilanka, China, Kamboja maupun Filipina.
Hal ini menggambarkan bahwa perkebunan karet kita meskipun sangat luas,
tapi belum menerapkan pola manajemen yang optimal. Baik dari aspek kualitas
bibit, penyakit tanaman karet maupun aspek lainnya, termasuk teknik pemanenan
dan pengolahan pasca panen.
3.4 Pengolahan Karet di Indonesia
Bahan
olah karet dari petani pada umumnya berupa bekuan karet yang dibekukan dengan
bahan pembeku yang direkomendasikan (asam format), maupun yang tidak
direkomendasikan (asam cuka, tawas, dsb), serta pembekuan secara alami. Pada
saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi pasar karet di Indonesia karena
dinilai petani paling praktis dan menguntungkan.
Sebagian
besar produk karet Indonesia diolah menjadi karet remah (crumb rubber) dengan
kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR), sedangkan lainnya diolah dalam
bentuk Ribbed Smoked Sheet (RSS) dan lateks pekat. Kapasitas pabrik pengolahan
crumb rubber pada saat ini sesungguhnya sudah melebihi dari kapasitas
penyediaan bokar dari perkebunan rakyat, namun pada lima tahun mendatang
diperlukan investasi baik untuk merehabilitasi pabrik yang ada maupun untuk
membangun pabrik pengolahan baru untuk menampung pertumbuhan pasokan bahan baku
yang diperhitungkan akan meningkat seiring dengan gencarnya upaya-upaya
peremajaan dan perluasan areal kebun karet yang baru.
Pada
awalnya sebagian besar karet alam Indonesia diperdagangkan dalam bentuk karet
lembaran yakni karet sit asap (RSS = ribbed smoked sheet), Namun sejak
diperkenalkan teknologi karet remah (crumb rubber) pada tahun 1968, produksi
karet sit secara dramatis menurun, beralih ke karet remah, tidak kurang dari
90% produksi karet alam nasional setiap tahunnya merupakan karet remah.
Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor, dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan, menyebabkan perkembangan teknologi karet remah saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun 1969 terdapat 65 pabrik, kini sekitar 115 pabrik karet remah yang aktif beroperasi di Indonesia.
Tingginya permintaan pasar terhadap karet remah untuk dijadikan bahan pembuatan komponen teknik terutama ban kendaraan bermotor, dan ditunjang dengan jaminan ketersediaan bahan, menyebabkan perkembangan teknologi karet remah saat ini sudah sedemikian pesat. Pada tahun 1969 terdapat 65 pabrik, kini sekitar 115 pabrik karet remah yang aktif beroperasi di Indonesia.
Tuntutan
permintaan yang tinggi dari sektor transportasi terhadap karet alam sukar
dipenuhi oleh karet lembaran, karena karet jenis ini memerlukan waktu
pengolahan yang cukup lama yakni 7-14 hari. Dengan teknologi karet remah, bahan
olah karet secara cepat, kurang dari satu hari dapat diolah menjadi karet
mentah yang siap untuk dijual. Selain itu, mutu karet remah dinilai berdasarkan
hasil analisis fisiko-kimia, sehingga dianggap lebih baik dibandingkan mutu
karet lembaran yang dinilai hanya berdasarkan pengamatan visual dan bersifat
subyektif.
Pada
saat karet lembaran masih mendominasi produksi karet alam, petani berperan
sebagai penghasil lateks, dan banyak juga yang sekaligus sebagai pengolahnya
untuk dijadikan karet sit. Namun sejak penerapan teknologi karet remah, petani
umumnya hanya berperan sebagai penyedia bahan olah berupa lump dan slab. Lump
merupakan bahan olah karet yang dibuat dari lateks yang digumpalkan menjadi
berbentuk mangkok berdiameter sekitar 10-15 cm, sedangkan slab berbentuk balok
tipis hingga berukuran sekitar 35cm x 50cm, tebal 20 cm.
Bahan
olah karet dari petani dijual ke prosesor akhir yakni pabrik karet remah untuk
diolah menjadi karet remah jenis SIR (Standard Indonesian Rubber) 10, atau SIR
20. Pengolahan melibatkan serangkaian proses mulai dari pengecilan ukuran,
pencucian, homogenisasi, pengeringan dan pengemasan. Sejak dimulainya era karet
remah, SIR 20 senantiasa mendominasi jenis karet remah yang diproduksi. Saat
ini ekspor karet remah SIR 20 sekitar 85%. Dengan demikian tampak bahwa bahan
olah karet lump dan slab sangat penting peranannya sebagai bahan baku untuk
pembuatan karet remah. Untuk kurun waktu 5 tahun terakhir, karet SIR 20 sangat
dominan sebagai produks ekspor, rata-rata porsinya mencapai hampir 90%.
3.5
Kendala dan Permasalahan Komoditas Karet
Kegiatan perkebunan
karet yang sudah sejak dahulu kala di Indonesia bukan berjalan tanpa hambatan.
Permasalahan umum yang banyak terjadi pada saat penanaman, pemeliharaan, dan
panen. Masalah yang umumnya terjadi adalah eksploitasi yang berlebihan yang
menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit, pengaturan gilir sadap yang
terlalu cepat, sadapan yang dipaksakan ketika hari hujan, sadapan dilakukan
pada panel sadap yang tidak seharusnya, kemiringan bidang sadap yang melebihi
standar, dan presentasi getah yang terbuang percuma. Selain itu ada satu hal
yang nampaknya selalu menjadi masalah yaitu sarana pengangkutan hasil produksi
yang kurang memadai diakibatkan jauhnya jarak dan medan tempuh yang sulit untuk
dilalui.
Bahan baku karet yang dihasilkan umumnya bermutu
rendah, dan pada sebagian lokasi harga yang diterima di tingkat petani masih
relatif rendah (60-75% dari harga FOB) karena belum efisiennya sistem pemasaran
bahan olah karet rakyat (bokar), antara lain disebabkan lokasi kebun jauh dari
pabrik pengolah karet dan letak kebun terpencar-pencar dalam skala luasan yang
relatif kecil dengan akses yang terbatas terhadap fasilitas angkutan, sehingga
biaya transportasi menjadi tinggi.
Akhir-akhir ini jumlah
sumberdaya manusia yang memiliki minat pada perkebunan karet juga mulai
berkurang sehingga perawatan dan pengolahan dibidang perkebunan karet menjadi
terganggu. Berkurangnya SDM berdampak pada kurang terawatnya lahan dan kurang
diperhatikannya mangkok penadah getah. Padahal, getah yang kotor menyebabkan
harga jual getah karet akan sangat berkurang.
Produksi getah pada
tanaman karet ditunjang oleh banyak faktor, Salah satu faktor yang umumnya
paling mempengaruhi adalah kondisi tanaman karet itu sendiri. Tanaman keret
yang sehat akan menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan saat tanaman
tersebut dalam keadaan sakit. Akan tetapi hal penting seperti ini Nampaknya
belum mendapat perhatian utama dari para petani karet yang pada umumnya belum
menguasai teknologi ataupun ilmu tentang pengolahan perkebunan karet. Pemupukan
ideal yang seharusnya dapat mengoptimalkan kondisi tanaman karet nampaknya
masih menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh para petani karet di Indonesia
sekarang ini. Padahal pemberian pupuk dengan dosis optimal selain membuat
tanaman menjadi subur, pemberian pupuk juga mempercepat pemulihan kulit karet
yang disadap ( Nazaruddin dan F B Paimin 1998).
Petani tradisional
cenderung mengandalkan kebaikan alam untuk merawat pohon-pohon karet mereka dan
lebih fokus mengekploitasi tanaman karet dengan cara penyadapan karet yang
berlebihan tanpa memikirkan bahwa eksploitasi seperti itu akan menyebabkan
karet menjadi sakit dan akhirnya para petani juga yang rugi karena produksi
karet sudah pasti menurun. Pergiliran penyadapan adalah hal yang sangat penting
dilakukan karena tanaman karet membutuhkan waktu untuk memulihkan luka sadap.
Teknik penyadapan yang ditemui pada perkebunan karet tradisional pada beberapa
kasus sangat jauh dari kata baik. Menurut Aidi dan Daslin (1995) penyadapan
dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas cambium dengan
menggunakan pisau sadap. Jika terlalu dalam dapat membahayakan tanaman, dan
untuk mempercepat penyembuhan luka sayatan maka sayatan tidak boleh mengenai
xylem, yaitu sedalam 1,5 mm sebelum Kambium. Akan tetapi, kenyataan yang
terjadi dilapangan adalah, penyadapan yang tidak teratur dibuktikan dengan
banyaknya pohon yang memiliki luka yang tidak mengalami penyembuhan kulit.
Indonesia sebagai
negara penghasil karet nampaknya belum dapat mengoptimalkan karet sebagai salah
satu penyumbang devisa. Selama ini Indonesia hanya mengekspor karet dalam
bentuk getah karet sebagai prioritas utama, bukan dalam bentuk jadi seperti
ban, sepatu, sendal, ataupun bentuk jadi lain yang tentunya akan lebih
menyumbang devisa bila dibandingkan dengan getah karet. Ini menjadi sebuah
ironi yang sangat menyedihkan untuk sebuah negara yang membanggakan diri
sebagai Negara pengekspor karet papan atas. Pengolahan karet di luar ban
kendaraan saat ini masih kurang dari 30% disebabkan industri pengolahan karet
diluar ban hanya berskala kecil dan menengah (Prabowo 2006).
Kurangnya produktivitas
karet olahan dalam bentuk jadi selain ban diperparah oleh belum berkembangnya
industry pada sector ini akibat menghadapi banyak kendala. Kendala utama pada
industry karet Indonesia adalah
rendahnya daya saing produk-produk industri lateks Nusantara bila
dibandingkan dengan produsen lain, terutama Malaysia. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya pembinaan dalam pengembangan usaha barang berbasis karet. kurangnya
bantuan dari institusi negeri yang bergerak dalam bidang jasa penelitian dan
pengembangan, regulasi, perdagangan, angkutan, keuangan, dan jasa lainnya juga
memberi sumbangsi dalam makin terpuruknya industri pengolahan karet Nusantara.
Industri yang berfokus pada produksi barang
berbasis karet di Indonesia tidak dapat dikatakan tidak ada. Banyak
industri-industri dalam skala kecil dan menengah namun hanya beberapa saja yang
sukses diakibatkan kurangnya hubungan secara interpersonal dengan usaha lainnya
baik dalam pengadaan bahan baku maupun dalam sistem pemasarannya. Padahal dalam
memproduksi barang jadi, mereka memerlukan kerjasama dengan pabrik kompon
sebagai penyedia bahan baku utama karena pada umumnya industri skala kecil belum
memiliki kemampuan untuk memproduksi kompon (bahan setengah jadi). Permasalahan
juga terjadi saat pemasaran hasil, karena mereka membutuhkan perusahaan besar
seperti pabrik otomotif dan pabrik otomotif sebagai tujuan pemasaran produk
untuk mendapatkan keuntungan yang baik ketika menjual produknya dan tampaknya
hal ini masih sulit dilakukan. Beberapa industri kecil memilih untuk menjual
secara mandiri produk-produknya, namun cara ini dirasa kurang efektif karena
perilaku sebagian besar konsumen sekarang ini adalah membeli “brand” produk
tersebut bukan membeli karena kualitas. Kerjasama dengan mitra hanya dilakukan
secara informal atas dasar saling percaya tanpa adanya suatu ikatan kontrak
formal, misalnya tentang royalty. Padahal
setelah dikemas oleh perusahaan besar ditambah dengan nama merek terkenal,
harganya menjadi berkali-kali lipat bila dibandingkan dengan harga barang saat
dijual pada tingkat pengerajin.
Kenyataan
yang ditemui di lapangan, industri kecil dan menengah cenderung mengandalkan
pesanan (capative market) karena industri dalam skala ini dikelola dalam bentuk
industri tangga secara informal. Pengerajin dalam industri barang jadi berbasis
karet dalam skala kecil dan menengah menjalankan usahanya sendiri-sendiri dan
interaksi antar pengerajin hamper tidak ada. Hal ini disebabkan pola pikir
pengerajin yang menganggap bergabung dalam asosiasi ataupun koperasi dibidang
indusrti karet tidak ada untungnya. Pengerajin dalam skala ini biasanya hanya
mengandalkan teknologi sangat sederhana seperti proses pencetakan dan pemasakan
(vulkanisasi) yang telah ada sejak dulu kala tanpa mengikuti teknologi terbaru
yang tentunya akan lebih menguntungkan. Proses pemasakan (vulkanisasi) yang
dilakukan sebagian pengerajin menggunakan kompor tradisional yang sangat
sederhana sehingga pengukuran suhu dan waktu hanya didasarkan pada pengalaman,
padahal untuk mendapatkan produk berbasis karet yang bagus memerlukan suhu dan
lama proses yang tepat.
3.6 Solusi
Permasalahan Komoditas Karet Indonesia
Pemerintah harus membuat kebijakan untuk meningkatkan kapasitas prodiksi
karet alam Indonesia agar bisa setidaknya sama dengan Negara lain. Pengguan
teknologi baru dalam pengolahan hasil karet alam juga perlu dikembangkan agar
Indonesia tidak hanya mengekspor karet setengah jadi tetapi juga bisa
mengekspor barang jadi. Sebagai salah satu komoditi pertanian, produksi karet
sangat tergantung pada teknologi dan manajemen yang diterapkan dalam sistem dan
proses produksinya. Produk industri perkebunan karet perlu disesuaikan dengan
kebutuhan pasar yang senantiasa berubah.
Karet alam yang diperdagangkan saat
ini umumnya sudah memasuki tahapan perdagangan bebas tanpa hambatan dengan
mengikuti mekanisme pasar. Bagi negara-negara importir seperti Amerika Serikat
dan Jepang, karet alam diperdagangkan tanpa adanya hambatan baik berupa tarif
maupun non tarif. Tidak adanya pembatasan perdagangan karet alam di Amerika
Serikat dan Jepang karena kedua negara tersebut merupakan kosumen absolut yang
tidak dapat menghasilkan atau memproduksi karet alam sendiri sehingga jika
dilakukanhambatan terhadap impor karet alam akan merugikan industri dalam
negerinya.
Kebijakan perdagangan di negara
eksportir yaitu Thailand adalah dalam bentuk tarif atau pajak eskpor. Kebijakan
tersebut diberlakukan oleh Thailand dalam upaya untuk mendapatkan harga jual
yang lebih baik. Menurut Limbong (1994), Thailand menerapkan pajak ekspor karet
alam pada tingkat relatif tinggi, sedang dan rendah dalam tiga periode yaitu
tahun 1969-1982, 1983-1988, dan 1989-1998. Setelah periode tersebut pajak
ekspor yang dibebankan pemerintah Thailand terhadap eksportir karet alamnya
adalah sebesar 0.9 Bhat per kilogram.
Indonesia pernah menerapkan pajak
ekspor terhadap komoditas karet alam yaitu sebesar 10 persen pada periode tahun
1969-1975, kemudian sebesar 5 persen pada periode tahun 1976-1981 dan 0 persen
sejak 1982 (Limbong, 1994). Saat ini ekspor karet alam Indonesia tidak dibebani
oleh tarif atau pajak ekspor oleh pemerintah. Sedangkan untuk komodiats karet
alam yang diimpor oleh Indonesia dikenai oleh pajak impor yang besarnya adalah
5 persen dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.
Hasil produksi karet alam Indonesia
saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak
pertambahan nilai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjulan atas barang mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 18
tahun 2000, komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik dikenai
pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Kebijakan ini menyebabkan konsumen
domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam yang di
produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh masyarakat
perkaretan Indonesia untuk merubah keputusan yang merugikan ini (Prabowo 2006).
Selain kebijakan perdagangan dalam
hal pajak baik ekspor maupun impor, pemerintah juga mengeluarkan keputusan yang
terkait dengan upaya distorsi perdagangan karet alam melalui pembentukan International
Tripartite Rubber Corporation (ITRO). Kesepakatan ini direspon dengan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 58/MPP/Krp/I/2002
pada tanggal 31 Januari 2002 mengenai penugasan Gabungan Perusahaan
Karet Indonesia (Gapkindo) sebagai National Tripartite Rubber
Corporation (NTRC).
Dalam
Kebijakan Pembangunan Industri Nasional, dikemukakan bahwa berdasarkan
pertimbangan terdapatnya permasalahan yang mendesak yakni penyerapan tenaga
kerja, pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, pengolahan hasil pertanian dalam
arti luas dan sumber daya alam negeri, dan memiliki potensi pengembangan ekspor
yang tinggi maka fokus pembangunan industri pada adalah penguatan dan
penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1) Industri makanan dan
minuman; 2) Industri pengolahan hasil laut; 3) Industri tekstil dan produk
tekstil; 4) Industri alas kaki; 5) Industri kelapa sawit; 6) Industri barang
kayu (termasuk rotan dan bambu); 7) Industri karet dan barang karet; 8)
Industri Pulp dan kertas; 9) Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan
10) Industri petrokimia. Pengembangan 10 klaster industri inti tersebut, secara
komprehensif dan integratif, ditunjang industri terkait (related industries)
dan industri pendukung (supporting industries). Permintaan pasar otomotif yang
memasang standar tinggi menyebabkan ban harus dibuat dari bahan karet yang
memiliki kualitas terbaik juga yang didukung oleh teknologi yang mutakhir (
Suhendry dan A Daslin 2002)
Pemerintah
telah menetapkan sasaran pengembangan industri pengolahan karet adalah industri
berskala kecil, menengah dan besar, dimana dalam jangka menengah yang ingin
dicapai adalah meningkatnya mutu Bahan Olah Karet (Bokar) sesuai SNI,
terpeliharanya kestabilan harga di tingkat petani, dan tumbuhnya industri
pendukung (terutama koagulan, bead wire, nylon tyre-cord, dll). Sedangkan dalam
jangka panjang, target pengembangan industri karet adalah menjadikan Indonesia
sebagai produsen karet olahan nomor satu dunia yang ditunjang oleh industri pendukung
yang kuat (Prabowo 2006).
Dengan
memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini
dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani
melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan
langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan
bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau perkebun swasta untuk
membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif
(Nazarrudin dan Paimi 2006).
Upaya
yang dilakukan petani sebagai pengganti sumber pendapatan dari tanaman karet
dapat bermacam-macam. Kayu karet yang ditebang dapat dimanfaatkan karena
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sehingga petani dapat menggunakan
hasil penjualan kayu karet sebagai tambahan modal untuk meremajakan kebun
karetnya. Nilai kayu karet bervariasi mulai dari satu juta rupiah sampai enam
juta rupiah per hektar (Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Selatan 2004)
Dalam menjawab tantangan peningkatan produksivitas tanaman dan kebun, telah
tersedia beberapa klon karet unggul dengan dengan potensi produksi lateks >
3 ton/ha/tahun dan kayu karet >1 m3/pohon. Selain itu juga telah tersedia
paket teknologi eksploitasi, pemupukan, dan pemeliharaan tanaman yang dapat meningkatkan
efisiensi dan profitabilitas usaha perkebunan. Di bidang pasca panen juga
tersedia berbagai teknologi/inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
mutu, nilai tambah dan mengambangkan produk industri hilir karet. Dengan
semakin berkembangnya teknologi otomatisasi dalam pembuatan barang jadi karet
di negara konsumen karet alam, maka tuntutan ke arah mutu produk yang dpesifik
semakin besar.
IV. SIMPULAN DAN SARAN
4. 1 Simpulan
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu
memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet
Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari
1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta
ton pada tahun 2004.Pendapatan devisa dari komoditi ini padatahun 2004 mencapai
US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal
perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan
karetmilik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan
besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai
angka sekitar 2.2 juta ton.
Permasalahan komoditas
karet yang umumnya terjadi di Indonesia adalah eksploitasi yang berlebihan yang
menyebabkan tanaman rentan terserang penyakit, pengaturan gilir sadap yang
terlalu cepat, sadapan yang dipaksakan ketika hari hujan, sadapan dilakukan
pada panel sadap yang tidak seharusnya, kemiringan bidang sadap yang melebihi
standar, dan presentasi getah yang terbuang percuma. Selain itu ada satu hal
yang nampaknya selalu menjadi masalah yaitu sarana pengangkutan hasil produksi
yang kurang memadai diakibatkan jauhnya jarak dan medan tempuh yang sulit untuk
dilalui.
Hasil produksi karet alam Indonesia
saat ini kurang bisa diserap oleh pasar domestik karena adanya pengenaan pajak
pertambahan nilai. komoditas karet alam yang diperdagangkan di pasar domestik
dikenai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. Hal ini menyebabkan bagi
konsumen domestik karet alam impor menjadi lebih murah dari pada karet alam
yang di produksi di dalam negeri. Berbagai upaya sedang dilakukan oleh
masyarakat perkaretan Indonesia untuk merubah keputusan yang merugikan ini.
Kebijakan yang tepat, pemberdayaan
petani, penyediaan sarana dan prasarana, danterutama teknologi yang mutakhir
sangat diperlukan untuk mengoptimalkan keuntungan pada komoditas karet. Upaya untuk meningkatakan pendapatan petani
melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan
langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan
bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau perkebun swasta untuk
membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan
industri pengolahan karet adalah industri berskala kecil, menengah dan besar,
dimana dalam jangka menengah yang ingin dicapai adalah meningkatnya mutu Bahan
Olah Karet (Bokar) sesuai SNI, terpeliharanya kestabilan harga di tingkat
petani, dan tumbuhnya industri pendukung (terutama koagulan, bead wire, nylon
tyre-cord, dll).
4. 2 Saran
Pengkajian lanjut tentang komoditas
karet sangat dibutuhkan mengingat potensi karet sebagai komoditas ekspor
unggulan sangat besar. Setelah melakukan pengkajian diharapkan adanya perhatian
lebih dari pemerintah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana seperti
peminjaman modal, penyediaan jalur pasar yang menguntungkan semua pihak, dan
pengutamaan perizinan penggunaan lahan untuk perkenunan karet.
DAFTAR
PUSTAKA
[Deptan]
Departemen Pertanian. 2006. Hasil pencarian berdasarkan komoditi
pangan.[Internet][diunduh pada 2013 Desember 27] tersedia pada: www. database.
deptan. go. Id.
[Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2007.
Gambaran sekilas industri karet.[Internet][diunduh pada 2013 Desember 29]
tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/download/288/Paket-Informasi-Komoditi-Karet
Aidi dan A Daslin. 1995. Pengelolaan bahan Tanaman Karet. Pusat
Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa, Palembang.
Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. 1997. Perkembangan Industri Karet dan
Barang Jadi Karet. Pusat Data dan
Informasi Deperindag, Jakarta.
___________________________________.
2004. Statistik Perdagangan Karet Alam.
Pusat Data dan Informasi Deperindag,
Jakarta.
Limbong W H. 1994. Keragaman Karet Alam Indonesia Ditinjau dari
Jenis Pengusahaan dan Wilayah Produksi. Disertasi Doktor. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nazaruddin dan F B Paimin. 2006. Karet, Strategi Pemasaran dan
Pengolahan. Penebar Swadaya. Jakarta. Penebar Swadaya
________________________.
1998. Karet. Jakarta: Penebar Swadaya.
Prabowo D
W. 2006. Dampak Kebijakan
Perdagangan Terhadap Dinamika Ekspor Karet Alam Indonesia. Tesis Master.
Program Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suhendry I
dan A Daslin. 2002. Kajian Finansial
Penggunaan Klon Karet Unggul Generasi IV. Warta Pusat PenelitianKaret,
Vol. 21, No. 1- 3, p. 18-29.
LAMPIRAN
Tabel 3. Produksi
Perkebunan Besar menurut Jenis Tanaman, Indonesia (Ton), 1995 - 2013**
|
|||||||||||||
Tahun
|
Karet Kering
|
Minyak Sawit
|
Biji Sawit
|
Coklat
|
Kopi
|
Teh
|
Kulit Kina
|
Gula Tebu 1)
|
Tembakau 1)
|
||||
1995
|
341.00
|
2476.40
|
605.30
|
46.40
|
20.80
|
111.08
|
0.30
|
2104.70
|
9.90
|
||||
1996
|
334.60
|
2569.50
|
626.60
|
46.80
|
26.50
|
132.00
|
0.40
|
2160.10
|
7.10
|
||||
1997
|
330.50
|
4165.69
|
838.71
|
65.89
|
30.61
|
121.00
|
0.50
|
2187.24
|
7.80
|
||||
1998
|
332.57
|
4585.85
|
917.17
|
60.93
|
28.53
|
132.68
|
0.40
|
1928.74
|
7.70
|
||||
1999
|
293.66
|
4907.78
|
981.56
|
58.91
|
27.49
|
126.44
|
0.92
|
1801.40
|
5.80
|
||||
2000
|
375.82
|
5094.86
|
1018.97
|
57.73
|
28.27
|
123.12
|
0.79
|
1780.13
|
6.31
|
||||
2001
|
397.72
|
5598.44
|
1117.76
|
57.86
|
27.05
|
126.71
|
0.73
|
1824.58
|
5.47
|
||||
2002
|
403.71
|
6195.61
|
1209.72
|
48.25
|
26.74
|
120.42
|
0.64
|
1901.33
|
5.34
|
||||
2003
|
396.10
|
6923.51
|
1529.25
|
56.63
|
29.44
|
127.52
|
0.78
|
1991.61
|
5.23
|
||||
2004
|
403.80
|
8479.26
|
1861.97
|
54.92
|
29.16
|
125.51
|
0.74
|
2051.64
|
2.68
|
||||
2005
|
432.22
|
10119.06
|
2139.65
|
55.13
|
24.81
|
128.15
|
0.83
|
2241.74
|
4.00
|
||||
2006
|
554.63
|
10961.76
|
2363.15
|
67.20
|
28.90
|
115.44
|
0.80
|
2307.00
|
4.20
|
||||
2007
|
578.49
|
11437.99
|
2593.20
|
68.60
|
24.10
|
116.50
|
0.52
|
2623.80
|
3.10
|
||||
2008
|
586.08
|
12477.75
|
2829.20
|
62.91
|
28.07
|
112.80
|
0.40
|
2668.43
|
2.61
|
||||
2009
|
522.31
|
13872.60
|
3145.55
|
67.60
|
28.67
|
107.35
|
0.60
|
2333.89
|
4.10
|
||||
2010
|
541.49
|
14038.15
|
3183.07
|
65.15
|
29.01
|
100.07
|
0.72
|
2288.74
|
3.37
|
||||
2011
|
572.80
|
15198.05
|
3446.04
|
67.54
|
22.22
|
95.10
|
0.43
|
2244.15
|
2.37
|
||||
2012*
|
582.41
|
15420.67
|
3451.39
|
77.36
|
24.75
|
98.60
|
0.47
|
2600.35
|
2.76
|
||||
2013**
|
278.01
|
9318.75
|
2437.99
|
22.50
|
6.61
|
43.41
|
0.07
|
172.93
|
1.98
|
||||
Catatan
:
|
|||||||||||||
1).
Termasuk produksi yang menggunakan bahan mentah dari perkebunan rakyat
|
|||||||||||||
*). Angka sementara
**).
Angka sangat sementara
Sumber
: BPS.go.id
Diagram Pengolahan Karet
|
|||||||||||||